IPW, Pegiat Antikorupsi hingga Kejagung Bedah Kasus Dugaan Korupsi HPP Hakim Agung Rp97 Milyar
- Viva.co.id
Banten.viva.co.id –Indonesia Police Watch (IPW) bersama berbagai pegiat antikorupsi akan mengadakan diskusi publik bertema "Bedah Kasus Dugaan Korupsi Pemotongan dan Penyalahgunaan Dana Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Bagi Hakim Agung" yang mencapai Rp97 miliar.
Acara ini akan digelar di Jakarta dan dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa hukum, advokat, serta perwakilan dari KPK, Kejaksaan Agung, dan Komisi Yudisial.
Kasus ini berawal dari penerapan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 yang mengatur hak keuangan hakim agung, termasuk honorarium penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali.
Namun, sejak 2022 hingga 2024, diduga terjadi pemotongan besar-besaran terhadap honorarium para hakim agung, yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis.
Pemotongan sebesar 26,95% diduga dilakukan secara terstruktur oleh sejumlah pihak, termasuk pimpinan Mahkamah Agung, dengan total nilai mencapai Rp97 miliar.
"Kami ingin menjaga marwah MA sebagai Benteng Terakhir bagi pencari keadilan," kata Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW kepada wartawan di Jakarta, Rabu 11 September 2024.
"Dengan harapan agar Mahkamah Agung hanya boleh dihuni oleh Hakim Agung yang berintegritas tinggi yang mampu memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan lembaga peradilan “ ujarnya.
Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan, kasusnya sendiri bermula ketika pada tanggal 10 Agustus 2021, dikeluarkan penetapan atas Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014.
Dimana peraturan ini berbunyi tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Dimana peraturan ini mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak perkara diterima.
Kemudian, sejak tahun 2022 secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 ternyata terjadi pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung.
Pada tahun 2022 pembayaran Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk.
Pertama yaitu bukti tanda terima hakim agung yang 100% dan tanda terima bukti hakim agung yang Dana Honorarium Penanganan Perkaranya telah dipotong.
Kemudian pada tanggal 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI No: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023.
Tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No.: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023.
Kemudian juga Nota Dinas Panitera MA No.: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023.
Tata cara pembagian dan/atau penyerahan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung diawali, kepaniteraan Mahkamah Agung RI, dalam hal ini Asep Nursobah selaku Penanggungjawab HPP menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara 90 (sembilan puluh) hari.
Kemudian mengajukan permintaan pembayaran, dan selanjutnya Bank Syariah Indonesia (BSI) selaku Bank yang membayar mengirimkan sejumlah uang sebagaimana permintaan Asep Nursobah ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak.
Selanjutnya pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 26,95 % dari rekening Hakim Agung, diluar pemotongan untuk penitera pengganti sebesar 7,5 %.
Kemudian untuk panitera muda kamar 1 %, operator 3,55 % dan staff majelis kolektif 2 % ( untuk perkara dengan majelis 3 hakim ).
Potonngan yang sama juga untuk Perkara dengan majelis 5 hakim dan Perkara dengan Hakim Tunggal.
Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh sdr AN.
Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 % adalah perbuatan korupsi yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan Para Hakim Agung yang berhak.
“IPW mendapat informasi Pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara pernah mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung," katanya.
Dalam sistem yang diterapkan, honorarium ditransfer ke rekening masing-masing hakim agung oleh Bank Syariah Indonesia (BSI), kemudian secara otomatis dipotong sebesar 26,95%.
Dugaan korupsi ini semakin kuat ketika ditemukan bahwa potongan dilakukan tanpa izin hakim agung, dan dana yang terkumpul diduga dikelola oleh oknum tertentu.
Kasus ini melanggar berbagai pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Korupsi, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain itu, pemotongan honorarium juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365, tahun 2022 sebanyak 28.024 perkara.
Tahun 2023, terdapat pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung untuk perkara kasasi biasa sejumlah Rp47,9 milyar.
Dikatakan Sugeng, apabila diasumsikan pemotongan sebesar 25.95 % per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) Rp6.750.000,00 x perkara yang diputuskan setahun.
Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung sebesar Rp49 milyar.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat telah melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan penyalahgunaan dana dan tindak pidana pencucian uang.
Kasus ini disandingkan dengan dugaan korupsi pemotongan insentif pajak di Sidoarjo dan Jambi, yang telah berujung pada vonis pidana bagi para pelakunya.
Diskusi ini diharapkan dapat mengungkap lebih dalam praktik korupsi yang terjadi di kalangan hakim agung.
Sugeng Teguh Santoso mengungkapkan ini bukan kasus korupsi karena kebutuhan, melainkan korupsi karena keserakahan.
Melalui diskusi ini, IPW akan mengumpulkan pandangan ahli hukum dan pegiat antikorupsi, untuk kemudian menyerahkan hasilnya kepada KPK, Komisi Yudisial, dan Komisi III DPR RI.