LLDikti : Tingkatkan Standar Pendidik Melalui Pengukuhan Guru Besar

Pelantikan Guru Besar UPH
Sumber :
  • Sherly/viva

Banten VIVA - Universitas Pelita Harapan atau UPH kembali melakukan pengukuhan Guru Besar. Ketua Tim Kerja Sumber Daya Pendidik Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Prita Ekasari mengatakan, pengukuhan itu sebagai bentuk penguatan reputasi lembaga pendidikan yang selalu berupaya untuk meningkatkan standar pengajarannya dan tentunya berkontribusi bagi bangsa.

MARS UPH Raih Akreditasi Unggul Upaya Tingkatkan Pendidikan Kesehatan

"Pengukuhan guru besar ini sebagai upaya peningkatan standar pendidik. Yang mana, senantiasa membentuk pemikiran dan pengetahuan mahasiswa dengan dinamika global yang relevan dengan perkembangan saat ini," katanya, Sabtu, 25 Mei 2024.

Hal ini karena, melalui tenaga pendidik berkualitas, lembaga pendidik pun memiliki komitmen untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Dies Natalis ke-30 UPH Hadirkan Layanan Publik, Pererat Hubungan Sivitas Akademika dengan Mitra

"Dengan tenaga pendidik yang berkualitas tentunya mahasiswa akan terbentuk sebagai lulusan yang siap menghadapi masa depan dengan profesional, dan kompeten," ujarnya.

Sementara itu, Prof. Dr. Edwin Martua Bangun Tambunan, S.I.P., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPH sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Keamanan dan Perdamaian mempresentasikan penelitian yang berjudul “Sensitivitas Konflik untuk Mewujudkan dan Merawat Perdamaian”.

Catat Bansos September 2024 yang Akan Cair, Simak Ini Loh Cara Mendapatkannya

Dalam orasi ilmiahnya, ia menekankan tentang pentingnya penerapan sensitivitas konflik untuk mewujudkan dan merawat perdamaian. Upaya ini perlu dilakukan di berbagai bidang kehidupan, terutama untuk mencegah efek destruktif yang ditimbulkan akibat konflik yang terjadi antar organisasi atau negara tertentu.

Misalnya, seperti kejadian perang antara Rusia dan Ukraina atau perang antara Hamas dan Israel yang terjadi baru-baru ini.

"Sensitivitas konflik adalah pendekatan dari organisasi untuk memastikan bahwa respons atau intervensi yang dilakukan jangan sampai secara tidak sengaja berkontribusi terhadap konflik. Sebaliknya, dengan adanya sensitivitas konflik justru harus semakin memperkuat inklusi, partisipasi, dan rasa kepemilikan. Adapun respons atau intervensi yang dimaksudkan di sini dapat berupa inisiatif, kebijakan, program, proyek, atau tindakan," katanya.

Seperti perang Hamas dan Israel. Menurutnya, apabila kedua pihak mau melakukan kalkulasi dan memiliki sensitivitas konflik, maka kemungkinan besar tidak perlu terjadi perang besar yang menewaskan ribuan penduduk sipil. Ia menegaskan bahwa sensitivitas konflik adalah sebuah pendekatan yang berkeadilan.

Untuk itu, analisis yang dilakukan harus cermat mengungkap berbagai kesenjangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan pelanggaran yang tengah terjadi. Dengan informasi yang diperoleh; diharapkan inisiatif, kebijakan, maupun program yang dirancang akan meminimalkan konflik yang ada.

"Ada tiga cara penerapan sensitivitas konflik yang dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Pertama, dengan membiasakan organisasi untuk melaksanakan analisis konflik dan memperbaruinya secara berkala. Kedua, dengan menghubungkan analisis konflik dan siklus pemrograman intervensi. Ketiga, dengan merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi intervensi merujuk pada hasil analisis konflik, termasuk mendesain ulang bila diperlukan. Di antara ketiganya itu, analisis konflik adalah komponen utama dalam pengembangan sensitivitas konflik. Kegiatan ini menjadi landasan untuk penyusunan program yang sensitif terhadap konflik, khususnya dalam hal pemahaman tentang interaksi antara intervensi dan konteksnya," jelas Prof. Edwin.

Melalui hal ini, ia pun berharap manfaat dari sensitivitas konflik dapat diterapkan secara relevan dan penerapannya diperluas termasuk ke dalam ranah kebijakan publik dan dunia usaha. Ia menegaskan, penerapan secara cermat dan tepat dapat mencegah terjadinya risiko, meminimalkan risiko, dan mitigasi risiko terjadinya konflik atau kekerasan.

"Penelitian ini diharapkan dapat membentuk persepsi positif atas kebijakan, program, proyek, atau inisiatif yang dilaksanakan, serta memperkuat citra dan reputasi positif dari organisasi maupun pejabatnya," ungkapnnya