Serikat Pekerja PLN Tolak Kebijakan Power Wheeling
- Istimewa
Banten.Viva.co.id - Serikat pekerja PLN menolak kebijakan Power Wheeling, karena bisa menaikkan harga listrik dan membebani APBN. Penerapan Power Wheeling dipandang menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling, terjadi ketika pembangkit listrik baik milik swasta maupun negara, menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sedangkan Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai "jalan tol" dengan skema open access, dimana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar "Toll Fee."
"Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," ujar M. Abrar Ali, Ketua Umum SP PT PLN, dalam keterangan resminya, Kamis, 12 September 2024.
Menurut serikat pekerja PLN, Power Wheeling merupakan konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia. Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
Latar belakang Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Kenudian Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan konsep unbundling melalui putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.
Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.
Selain itu, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT.
"Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional," jelasnya.