Darurat Korupsi di Indonesia: Panggilan untuk Bergerak, Kritik terhadap Pemerintahan Jokowi
Sejak revisi UU KPK disahkan dan diberlakukan, pada Jumat, 13 September 2019 silam, tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah ke Presiden Jokowi.
Sebelumnya, KPK berdiri independen dan hanya bertanggungjawab kepada masyarakat.
Meski ada pandangan yang menilai kesaksian Agus Rahardjo bernuansa politis, DPP NCW menyambut gembira pengungkapan ini sebagai bukti ketidakpatutan Presiden Jokowi mempertahankan jabatannya, mencatat beberapa dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi dan kroni-kroninya.
“Meskipun banyak yang menuding kesaksian Agus Rahardjo ini bernuansa politis dan tidak memiliki bukti yang kuat, namun DPP NCW menyakini Agus bicara sesuai fakta yang dialaminya pada masa itu. Ini kesekian kalinya Jokowi melanggar konstitusi, UU 28 tahun 1999 terkait Penyelenggara Negara yang bebas dan bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN),” ungkap Hanif Ketum DPP NCW.
Dalam dua bulan terakhir, DPP NCW sangat gencar menyuarakan betapa korupnya oknum-oknum penyelenggara negara di lingkungan pemerintahan Jokowi, dan NCW mensinyalir lemahnya pemberantasan KKN saat ini karena adanya kebutuhan rezim Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dugaan NCW tidak sangat beralasan dengan banyaknya terduga korupsi yang sudah diungkapkan oleh DPP NCW, hingga hari ini, tidak satupun yang ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.
“Sebut saja oknum menteri AH, DA, BL, ET dan PS, yang sebelumnya pernah kami ungkapkan dugaan KKN yang mereka lakukan, tapi apa Jokowi peduli? Sudah pasti tidak peduli lah, gimana mau peduli kalau Jokowi juga “ikutan” menabrak konstitusi demi kepentingan dinastinya,” kata Hanif