Wacana Penerapan Tarif KRL Commuterline Berbasis NIK Kebijakan Tidak Masuk Akal
- Viva
Dampak yang akan terasa apabila subsidi berbasis NIK ini akan diterapkan adalah, masyarakat yang sebelumnya menggunakan KRL Jabodetabek kembali memakai kendaraan pribadi, sehingga meningkatkan kembali pencemaran udara dan kemacetan.
Penerapan subsidi berbasis NIK ini juga tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam menekan angka kemacetan dan polusi akibat pembuangan emisi gas karbon dari kendaraan. Dimana, pemerintah kerap mengajak masyarakat untuk menggunakan transportasi umum untuk menekan kemacetan dan pencemaran udara, karena tidak dibarengi infrastruktur yang memadai.
Selain itu, ketersediaan jumlah armada juga menjadi masalah, contohnya, KAI Commuter selaku operator dari KRL Jabodetabek telah mengalami defisit armada sejak tahun 2023, hal ini juga diperparah dengan keputusan pemerintah yang melarang impor KRL bekas dari Jepang dengan jenis Seri E217, padahal rencana impor KRL bekas dari Jepang itu untuk mengisi kekosongan atau gap armada selagi menunggu KRL buatan PT. INKA Madiun selesai pada 2025.
Perlu diketahui, KAI Commuter mulai mempensiunkan beberapa unit sarananya sejak 2023. Alasannya beragam, mulai dari umur kereta yang sudah tua karena diatas 50 tahun hingga teknologi yang digunakan sudah usang. Akibatnya beberapa armada atau Trainset (TS) yang masih berjalan hanya membawa delapan kereta dalam satu rangkaiannya. Ini juga memperparah penumpukan penumpang terutama di rush hour.
Kemenhub telah buka suara mengenai kegaduhan ini, pihaknya masih membahasnya dengan PT KAI. Dimana, ide tersebut masih dikaji sebelum direalisasikan. DJKA juga masih mengkaji wacana ini dan akan melakukan pembicaraan terbuka seperti melibatkan masyarakat dan komunitas untuk membahas wacana ini.
Menurut perwakilan KRL Mania, Nurcahyo, ini merupakan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan berpotensi dalam mendisinsentif kampanye penggunaan transportasi umum.
Kesimpulan