Kasus Korupsi Pemotongan Honor Hakim Agung, KPK Harus Periksa Seluruh Rekening Terlapor
Banten.viva.co.id –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah memperluas penyelidikan terkait dugaan korupsi pemotongan honorarium hakim agung untuk Tahun Anggaran 2022-2023 senilai Rp138 miliar.
Jumlah tersangka dalam kasus ini diprediksi akan bertambah seiring dengan ditemukannya bukti baru.
Dugaan keterlibatan sejumlah pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA), seperti Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Sunarto dan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suharto, menjadi sorotan utama.
Selain itu, peran penting Asep Nursobah, Panitera MA yang juga bertindak sebagai Penanggungjawab Anggaran Honorarium Penanganan Perkara (HPP), semakin mencuat.
Ditemukan aliran dana yang mencurigakan di rekening pribadinya yang diduga terkait dengan dana hasil korupsi.
Dana sebesar Rp138 miliar diduga dibagi menjadi tiga kelompok utama: Rp97 miliar (25,9%) untuk pimpinan MA, Rp26,1 miliar (7%) untuk supervisor, dan Rp14,9 miliar (4%) untuk tim pendukung administrasi yudisial.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, KPK harus segera memeriksa seluruh rekening para terlapor.
Ia menegaskan, dana sebesar Rp138 miliar yang tidak dilaporkan sebagai gratifikasi tersebut harus ditelusuri dengan mencocokkannya dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik para terlapor.
Sugeng juga mengingatkan bahwa transaksi tunai dapat menjadi petunjuk lebih lanjut dalam penyelidikan ini.
Asep Nursobah, yang sempat diperiksa KPK pada 2016 dalam kasus suap, kembali menjadi sorotan setelah terungkap memiliki tiga rekening di Bank Syariah Indonesia (BSI) yang terkait dengan aliran dana dugaan korupsi.
Pada Desember 2023, diduga Asep menerima Rp4,93 miliar dari total alokasi untuk supervisor yang mencapai Rp26,1 miliar.
Sisa dana tersebut diduga dibagi kepada beberapa pejabat lain di Mahkamah Agung.
Menurut Sugeng, uang yang diterima dari pemotongan honor para hakim agung dibagikan kepada lebih dari 100 orang, termasuk pejabat tinggi di Sekretariat MA.
Nama-nama seperti W, M, RR, HIM, dan beberapa lainnya disebut terlibat dalam pembagian dana ini.
Dalam perkembangan terbaru, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Sunarto, dan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Suharto, dijadwalkan akan diperiksa oleh KPK terkait dugaan korupsi ini.
Menurut laporan IPW dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), kedua pejabat ini bersama beberapa kolega mereka diduga melanggar berbagai pasal dalam UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, telah memastikan bahwa laporan dari IPW dan TPDI saat ini sedang dipelajari.
"Laporan ini masih dalam tahap telaah di Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat. Belum masuk tahap penyidikan, jadi harap bersabar," ujarnya.
Dalam minggu ini, Mahkamah Agung akan menggelar pemilihan Ketua MA untuk menggantikan Muhammad Syarifuddin yang akan segera pensiun.
IPW, TPDI, dan sejumlah aktivis antikorupsi mendesak agar pemilihan ini menghasilkan calon ketua yang bersih dan berintegritas.
Sugeng menekankan pentingnya memilih Ketua MA yang tidak memiliki beban sosial distrust atau potensi menjadi tersangka korupsi.
Ia menegaskan bahwa Mahkamah Agung harus menjaga martabatnya sebagai benteng terakhir keadilan.
"Kandidat yang berpotensi terseret kasus korupsi, seperti Sunarto dan Suharto, sebaiknya tidak mencalonkan diri," tambahnya.
Menurut Petrus Selestinus, Koordinator TPDI, Mahkamah Agung saat ini berada dalam sorotan tajam akibat keterlibatan sejumlah oknum pimpinan dalam kasus dugaan korupsi.
Sementara itu, ribuan hakim di seluruh Indonesia justru hidup dalam kondisi sulit dan sempat melakukan aksi mogok. Hal ini semakin memperkuat desakan agar kasus ini segera diusut tuntas.
Berdasarkan laporan, mekanisme pemotongan dana HPP diduga disahkan melalui peraturan yang dikeluarkan oleh Sekretariat MA.
Namun, legitimasi ini dipertanyakan karena pemotongan tersebut dianggap sebagai tindakan korupsi.
Sugeng menambahkan, pemotongan sebesar 25,95% dari dana HPP yang seharusnya menjadi hak para hakim agung, awalnya ditolak oleh beberapa hakim agung.
Namun, tekanan dari pimpinan MA membuat mereka akhirnya setuju dengan pemotongan tersebut melalui surat pernyataan bermaterai yang diduga dipaksakan.