Dugaan Korupsi Potongan Honor Rp97 Miliar di Mahkamah Agung Dilaporkan ke KPK

IPW Laporkan Kasus Korupsi di MA ke KPK
Sumber :

 

Korupsi Dana Desa Untuk Hiburan Malam, Mantan Kades Tangerang Dihukum Seumur Hidup

Banten.viva.co.id - Indonesia Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan korupsi terkait pemotongan honorarium hakim agung di Mahkamah Agung (MA) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 2 Oktober 2024. 

Kasus ini diduga melibatkan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebesar Rp97 miliar untuk tahun anggaran 2022-2024.

Dugaan Korupsi Pemotongan Honorarium Hakim Agung Rp97 Miliar, IPW Siap Laporkan ke KPK

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, bersama dengan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, menyatakan bahwa pemotongan honor tersebut melanggar beberapa undang-undang.

Undang-undang yang dilanggar termasuk UU No. 20 Tahun 2021 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 yang mengatur hak keuangan hakim agung.

IPW, Pegiat Antikorupsi hingga Kejagung Bedah Kasus Dugaan Korupsi HPP Hakim Agung Rp97 Milyar

"Peristiwa dugaan korupsi yang bernilai puluhan milyar yang diduga dilakukan para petinggi Mahkamah Agung ini ini paradoks dengan penderitaan yang dialami oleh hakim di seluruh daerah yang pekan depan bakal melakukan mogok kerja“ ujar Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW didampingi Petrus Selestinus, Koordinator TPDI di Gedung Merah Putih KPK, usai membuat laporan.

Menurut Sugeng, peraturan pemerintah menyebutkan bahwa hakim agung berhak menerima Honorarium Penanganan Perkara (HPP) dalam waktu 90 hari setelah perkara diterima. 

"Namun ternyata tanpa dasar hukum sejak tahun 2022 secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 terjadi HPP," ujarnya. 

Pada tahun 2022 pembayaran HPP dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk.

"Tanda terima itu bukti tanda terima hakim agung yang 100% dan tanda terima bukti Hakim Agung yang HHP-nya telah dipotong” ujarnya.

Uang tunai diberikan dengan tanda terima, namun sebagian sudah dipotong, menciptakan dugaan gratifikasi dan korupsi.

Pemotongan ini disebut-sebut dilegitimasi oleh Sekretaris MA melalui Surat Keputusan terbaru pada Agustus 2023, yang membolehkan alokasi dana HPP sebesar 25,95% dipotong dari rekening hakim agung, tanpa persetujuan tertulis atau lisan. 

Uang tersebut dikumpulkan di rekening penampungan yang dikelola oleh Asep Nursobah, pejabat di MA yang diduga menyalahgunakan dana ini untuk kepentingan pribadi.

Sementara itu, juru bicara MA, Suharto, membantah tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa ada sembilan proses dalam penanganan perkara yang melibatkan banyak pihak, termasuk supervisor dan tim pendukung. 

Oleh karena itu, sebagian dari HPP didistribusikan kepada tim pendukung teknis. Pernyataan ini mengonfirmasi adanya pemotongan, namun Suharto menyebut bahwa pemotongan ini bukan korupsi, melainkan prosedur yang sah.

Namun, beberapa hakim agung dikabarkan menolak pemotongan tersebut dan dipanggil oleh pimpinan MA. 

Di bawah tekanan, mereka diminta menandatangani surat pernyataan yang menyetujui pemotongan sebesar 40% untuk tim pendukung. 

Surat tersebut diduga disusun secara seragam dan diserahkan ke pimpinan, menunjukkan adanya intervensi pimpinan MA.

Laporan Tahunan MA menunjukkan bahwa pada tahun 2023, ada 27.365 perkara yang diputuskan. 

Jika dihitung, pemotongan sebesar 25,95% dari honor tiap perkara dapat mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahun.

Dugaan ini diperkuat dengan bukti bahwa tim pendukung hanya menerima sebagian kecil dari dana yang dipotong, sementara sisanya diduga dinikmati oleh oknum pimpinan MA.

Petrus Selestinus, Koordinator TPDI, menyamakan kasus ini dengan skandal korupsi pemotongan dana insentif pajak di Sidoarjo dan Jambi, yang telah menyeret sejumlah pejabat ke penjara. 

Ia menegaskan bahwa KPK harus segera turun tangan mengusut kasus ini karena korupsi yang terjadi di MA diduga bukan karena kebutuhan, melainkan karena keserakahan.