Dugaan Korupsi Pemotongan Honorarium Hakim Agung Rp97 Miliar, IPW Siap Laporkan ke KPK

Diskusi Publik Anti Korupsi
Sumber :

Banten.viva.co.id –Terungkap dugaan korupsi terkait pemotongan honorarium Hakim Agung di Mahkamah Agung RI dalam kurun waktu 2022-2024. 

Kejari Tangerang Keluarkan SP3 Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah RSUD Tigaraksa

Jumlah pemotongan ini mencapai Rp97 miliar dan terindikasi sebagai tindak pidana korupsi. 

Diskusi publik yang digelar Indonesia Police Watch (IPW) bersama sejumlah lembaga anti-korupsi di Jakarta mengungkap skema pemotongan dana tanpa persetujuan yang melibatkan pimpinan Mahkamah Agung.

Ketua IPW Sugeng: Jangan Ada Anggota DPR RI yang Diperalat Pengusaha Perkebunan Sawit

Para narasumber antara lain ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.

Kemudian Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, SH, dipandu moderator wartawan senior Hursubeno Arief.

KPU Wajib Ubah PKPU Pencalonan Pilkada sesuai Putusan MK

“Unsur dugaan pidana korupsi pemberian gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pasal 12 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 setidaknya telah terpenuhi “ujar Boyamin Saiman Koordinator Masyarakat Anti Korupsi dalam paparannya.

Pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) ini dilakukan sebesar 25,95%, di luar pemotongan untuk supervisor dan tim pendukung administrasi. 

Beberapa Hakim Agung menolak pemotongan ini, namun di bawah intervensi pimpinan MA, mereka diminta menandatangani surat pernyataan di atas materai yang menyetujui pemotongan hingga 40%. 

Sebagian besar dana ini dialokasikan untuk “tim pendukung teknis yudisial”.

Pada pertengahan tahun 2023 beberapa Hakim Agung yang menolak mengalami pemanggilan untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto.  

Selanjutnya diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang diketahui masing-masing Ketua Kamar, yang ditandatangani diatas materai.

 

Dimana pokoknya menyatakan bersedia dilakukan pemotongan honorarium Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 40 %, dengan rincian 29% “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial.

Juru Bicara Mahkamah Agung, Suharto, membantah tuduhan ini dalam konferensi pers pada 17 September 2024. 

Dia menegaskan bahwa tidak ada pemotongan paksa terhadap honorarium hakim agung. 

Suharto menjelaskan pemotongan dilakukan untuk mendukung staf lain yang terlibat dalam proses penanganan perkara. 

Namun, bantahan ini dibantah oleh Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW, yang mengatakan bahwa pemotongan dana sebesar itu tidak memiliki landasan hukum yang jelas.

Menurut Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW, bantahan Suharto justeru makin mengkonfirmasi fakta tentang pemotongan dana HPP bagi hakim agung itu benar adanya, dan tidak memiliki landasan hukum. 

Kontruksi yang dibangun yang seolah-olah dana HPP itu diperuntukan pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, juga runtuh. 

Lantaran faktanya dari dana pemotongan HPP sedikitnya senilai Rp. 97 milyar, setiap pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit hanya menerima Rp. 500 ribu per perkara.

“Disebut diduga ada intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI terindikasi dari format dan isi surat pernyataan yang dibuat seragam, yang dikoodinir oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan atas kehendak secara suka rela para hakim agung," katanya. 

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat, keberadaan surat pernyataan sebagai bentuk kesepakatan, yang ditandatangani hakim agung itu batal demi hukum.

Karena menurutnya materi yang tertuang didalamnya masuk ke dalam ranah hukum publik, terkait pengaturan pembagian dana yang bersumber dari uang negara, yang mutlak harus mempunyai landasan hukum. 

"Setiap rupiah uang negara harus dikeluarkan sesuai peruntukannya. KPK dapat pro aktif memeriksa, tidak perlu harus menunggu adanya laporan terlebih dahulu” tukasnya.

Para narasumber diskusi publik, termasuk Saut Situmorang (mantan Komisioner KPK) menyatakan skema pemotongan honorarium ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan gratifikasi. 

Mereka mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut kasus ini tanpa menunggu laporan resmi.

Saut Situmorang menekankan bahwa korupsi di tubuh lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung dapat memperburuk Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia. 

Kasus ini menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa sejumlah pihak di Mahkamah Agung terlibat dalam praktik korupsi berkelanjutan.

"Saya akan ikut kawal apabila teman-teman IPW akan melaporkan kasus ini ke KPK” ujarnya.

Panelis lainnya Petrus Selestinus, Ketua TPDI, berpandangan dalam kasus ini telah terjadi peristiwa hukum pemberian gratifikasi secara berjenjang. 

Pertama, pemberian gratifikasi oleh penguasa dalam hal ini Presiden Joko Widodo kepada hakim agung selaku penyelenggara yudikatif.

Hal itu dikemas ke dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. 

Mens rea pemberian gratifikasi oleh penguasa dimaksudkan agar hakim agung tidak bersikap independen apabila menyidangkan perkara antara rakyat melawan kepentingan penguasa. 

Kedua, pemberian gratifikasi kepada pimpinan MA dan Panitera, yang memperebutkan barang “haram” yakni uang sebesar Rp. 97 milyar. 

”Pola pengusutan kandungan korupsinya harus ditarik ke belakang.“Kasus ini sangat ironis. Seharusnya dana yang bersifat insentif lebih tepat diberikan kepada hakim-hakim yang hidupnya merana di daerah “ kata Petrus.