Pak Kapolri, Lapor : Anak Buah Bapak Rekayasa Kasus. Korban Pemilik PT NKLI

Ilustrasi kasus
Sumber :
  • Pixabay.com

Banten.viva.co.id –Melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan dengan kerugian Rp44 Miliar, satu keluarga malah menjadi tersangka atas laporan terlapor, dengan tuduhan menggelapkan mobil. 

Polda Banten Petakan Potensi Kerawanan Pilkada Serentak 2024

Gegara itu, A Hamid Ali, 80 tahun, pemilik PT NKLI meminta perlindungan hukum kepada Presiden Joko Widodo, Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Kompolnas.

Perlindungan hukum itu diminta lantaran dirinya bersama dua orang anaknya dan satu orang menantunya secara sewenang-wenang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri

Demo di Mabes Polri, HMI Cabang Serang Desak Kapolda Banten Dicopot, Dugaan Netralitas Jelang Pilkada 2024

Penetapan tersangka itu berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka tertanggal 11 Juni 2024. 

Padahal alat bukti yang dipakai untuk menetapkan tersangka terhadap 4 orang keluarga A Hamid Ali diduga mengandung pidana memberikan keterangan palsu.

Baru 2 Hari Ditangkap Kasus Narkoba, Guru Honorer Dilaporkan Meninggal, Polda Banten Beri Penjelasan

Keterangan palsu itu berupa Laporan Keuangan KAP Umaryadi yang dibuat atas permintaan Dirut PT NKLI, Asnil, tanpa persetujuan RUPS, dan tidak sesuai tata cara kelola audit yang benar berdasarkan UU RI No. 5/2011 tentang Akuntan Publik. 

“Ijin KAP Umaryadi Jasa Akuntan Publik telah dicabut Kemenkeu RI, berdasarkan surat dengan pemberitahuan Nomor: PENG-6/MK.1/PPPK/2023 menunjukan KAP yang dipakai penyidik memang abal-abal," ujar Sugeng Teguh Santoso, Kuasa Hukum PT NKLI kepada wartawan, Senin 20 Juli 2024 di Jakarta. 

"Informasi terkini Gedung KAP Umaryadi jadi tempat penyimpanan uang palsu sebesar Rp22 Miliar yang belum lama ini terbongkar," ungkapnya. 

Kronologi kasusnya sendiri menurut Sugeng Teguh Santoso, bermula tatkala pada bulan Mei 2019, bertempat di kantor PT NKLI A. Hamid Ali dan puteranya, RAG, diperkenalkan kepada Asnil dan Ferry Setiawan

Saat itu Asnil dan Ferry Setiawan mengaku berpengalaman bisnis di bidang batu bara, memiliki jaringan luas mengingat kedudukannya Ferry setiawan mengaku selaku Bendahara Umum PBNU. 

Ia juga mengaku memiliki kedekatan hubungan dengan Ketua PBNU pada saat itu, Prof Aqil Siradj dan Dahlan Iskan mantan Dirut PLN. 

Singkat kisah A Hamid Ali dan puteranya tergerak hatinya ketika Ferry Setiawan meminta dana sebesar Rp33,3 Miliar untuk membeli 51 % perusahaan tambang batubara PT BIC di Kalimantan Timur.

Serta meminta saham kosong di PT NKLI sebesar 30% atas nama Ferry Setiawan dan 16% untuk Asnil. 

Setelah uang Rp33 Miliar dan saham 46% diterima, Ferry Setiawan dan kawan-kawan, ternyata pemilik 51% saham PT BIC tak menerima pernah menerima dana.

Meskipun terdapat Akta Risalah RUPS PT BIC No. 04, tanggal 16 Januari 2020. 

Berdasarkan peristiwa penipuan tersebut, A Hamid Ali dan Keluarga dengan alat bukti lebih dari cukup melaporkan pidana Ferry Setiawan, Asnil dan kawan-kawan.

Sebagaimana Laporan Polisi No. LP/B/0175/III/2021/BARESKRIM tanggal 17 Maret 2021. 

Sedangkan Akta Risalah RUPS PT BIC No. 04, tanggal 16 Januari 2020, atas gugatan yang diajukan H Ijab telah dibatalkan berdasarkan Putusan Nomor: 17/Pdt.G/2020/PN.Tgr tanggal 30 Nopember 2020 yang memiliki kekuatan hukum tetap (Inkcraht). 

Hal itu sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. Nomor 1315 K/Pdt/2022 pada tanggal 12 Mei 2022. 

Sedangkan uang A Hamid Ali sebesar total Rp44 Miliar melayang tak kembali. Sementara itu 46% saham miliknya di PT NKLI terlanjur dilepas diserahkan kepada Ferry Setiawan dan kawan-kawan.

Menurut Sugeng Teguh Santoso, Asnil, dalam kedudukannya selaku Dirut PT NKLI malah melaporkan pidana A Hamid Ali dan keluarganya dengan mengkonstruksikan secara palsu tuduhan penggelapan dalam jabatan.

Hal itu dilakukan Asnil dengan mendalilkan barang bukti mobil Pajero yang telah dijual untuk kepentingan pesero, serta memakai Hasil Audit Laporan Keuangan KAP Umaryadi yang didalamnya diduga memuat keterangan palsu

Tertuanh sebagaimana LP No. LP/B/0207/III/2021/BARESKRIM dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/629/VII/RES.1.11/2021/Dittipideksus pada tanggal 23 September 2021.

“Pihak keluarga A Hamid Ali dituduh menjual mobil Mitsubishi Pajero Sport Nopol B 2787 SJB, asset perusahaan tanpa persetujuan Asnil selaku Dirut," katanya. 

Padahal, berdasarkan Skin Forensic Audit yang dilakukan Independen Forensic Auditor Purwady Setiono (Ady Setio), sesuai bukti Notulen Rapat tanggal 22 Februari 2021. 

Dimana disebutkan penjualan mobil Pajero tersebut atas perintah Asnil selaku Dirut PT NKLI untuk menutupi kebutuhan operasional perusahaan. 

Sedangkan Barang Bukti berupa Laporan Keuangan KAP Umaryadi yang diminta oleh Asnil dilakukan tanpa persetujuan RUPS, dan tidak sesuai tata cara kelola audit yang benar berdasarkan UU RI No. 5/2011 tentang Akuntan Publik. 

Pihak auditor tidak melakukan kunjungan ke kantor PT NKLI guna melakukan wawancara dengan pihak keluarga dan staf kantor. 

Bahkan pihak auditor tersebut menyatakan tidak diberikan akses yang cukup oleh Ferry Setiawan dan Asnil, terhadap data keuangan dan rekening bank perusahaan. 

Berdasarkan hasil restatement audit tahun 2020 No. 053/S.LL/MYA/VII/2024, Laporan Keuangan disajikan kembali dengan menggunakan dokumen dan data transaksi yang sesuai. 

Hal ini berbeda dengan data pada Laporan Keuangan yang disediakan oleh pelapor kepada KAP Umaryadi yang memuat keterangan Palsu. 

"Pada 29 Oktober 2023, KAP Umaryadi dicabut izinnya sebagai pemberi jasa Akuntan Publik oleh Kemenkeu RI dengan pemberitahuan nomor: PENG-6/MK.1/PPPK/2024," ujar Sugeng. 

Pada tanggal 21 Juni 2021 lantaran dinilai telah melanggar Anggaran Dasar Pesero PT NKLI dan saat diundang RUPS tidak pernah hadir untuk mempertanggungjawabkan kinerja dan keuangan perusahaan yang merugi selama tahun 2020.

Asnil dan Ferry Setiawan diberhentikan dari kedudukannya sebagai Direktur Utama dan Komisaris Perseroan, melalui RUPS tanggal 21 Juni 2021, yang telah disahkan oleh Dirjen AHU. 

Sehingga, sejak itu bukanlah lagi Direksi dan Komisaris Perseroan. Pada tanggal 22 Nopember 2021, melalui surat Ref: 510/NKLI/XI/2021, atas nama Dewan Direksi yang baru Perseroan PT NKLI telah memohon penghentian Laporan Penyidikan tersebut diatas dan telah disampaikan kepada Dirtipideksus. 

Namun hingga saat ini tidak ada tanggapan sama sekali yang dapat dinilai mengesampingkan sikap responsibilitas, transparansi dan berkeadilan sebagaimana digaungkan Presisi oleh Kapolri.

Anehnya, alih-alih melanjutkan penyelidikan kata Sugeng, Dittipiddeksus Bareskrim Polri malah menghentikannya. 

“Sebaliknya terhadap Laporan Polisi Nomor: LP/B/0207/III/2021/BARESKRIM yang telah 3 (tiga) tahun berhenti, Dittipideksus Bareskrim Polri, dengan alat bukti yang diduga memuat keterangan palsu, malah menetapkan A Hamid Ali, kedua puteranya RAG, ZA, serta menantunya ET, menjadi tersangka, pada 11 Juni 2024," kata Sugeng. 

"Diduga ada faktor “perdagangan pengaruh” (Trading in Influence) dan/atau atensi Irjen (Pol) ADJ “ ujarnya. 

Persangkaan lainnya, Asnil dan Ferry Setiawan yang tidak pernah setor modal menuduh A Hamid Ali dan Keluarga melakukan dugaan penggelapan dalam jabatan terkait dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp47 Miliar. 

Tuduhan ini tentu tidak mendasar, lantaran fund raising untuk working capital capex maupun opex PT NKLI 100 persen dilakukan oleh A Hamid Ali dan Keluarganya, dengan menjaminkan Harta, Aset termasuk rumah pribadinya.  

Apalagi ternyata uang yang dituduhkan mengalir ke rekening Ferry Setiawan seebsar Rp12 Miliar.

"Kalaulah ada dana yang dipakai untuk kebutuhan operasional perusahaan di luar divisi pertambangan, sebagai Founder dan Fund Raiser, A. Hamid Ali dan Keluarga punya hak besar dan otoritas penuh untuk mengelola dana,“ tukas Sugeng lagi.

Berdasarkan peristiwa hukum tersebut, menurut Sugeng Teguh Santoso, A Hamid Ali dan keluarganya merasa telah diperlakukan tidak adil dan mengalami diskriminasi dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Dittipideksus Bareskrim Polri," katanya. 

Untuk itu ia meminta Presiden Joko Widodo, Kapolri dan Kompolnas turun tangan memberikan perlindungan hukum. 

“Saya minta Kapolri dan Kadiv Propam Mabes Polri turun tangan memberi atensi pada kasus ini," ujar Sugeng Teguh Santoso, yang juga Ketua IPW.

Ferry Setiawan, suami artis Eddies Adelia, adalah seorang mantan narapidana, dalam 2 kasus pidana berbeda yaitu kasus korupsi dan penipuan penggelapan. 

Tahun 2006, Ferry Setawan di vonis 8 bulan penjara oleh PN Ciamis dalam perkara kasus korupsi. 

Dan berdasarkan putusan Nomor: 318/Pid.B/2014/PN.Jkt. Sel, Ferry Setiawan kembali divonis selama lima tahun penjara pada tanggal 9 September 2014 di PN Jakarta Selatan, dalam perkara penipuan dan/atau TPPU.