Pasal Pencemaran Nama Baik dan Penyebaran Hoaks Dihapus, Ini Penjelasan Lengkap Mahkamah Konstitusi
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” tambah Arsul.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya, disampaikan Arsul, mahkamah menilai, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya.
Sebab menurutnya, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan.
Terlebih lanjutnya, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Kemudian, Hakim Konstitusi lain, Enny Nurbaningsih yang juga membacakan pertimbangan hukum menyampaikan, mahkamah menilai unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Kini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.
Sehingga kata Enny, dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik. Hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
“Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam deng hukuman pidana,” terang Enny Nurbaningsih.