Mendamaikan Korban dan Pelaku Kejahatan Seksual, Solusi atau Reviktimisasi?
- Dok.pribadi
Banten.Viva.co.id - Kejahatan yang menyangkut kesusilaan atau perkosaan selalu menarik perhatian. Karena perkosaan berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya seperti pencurian atau penipuan.
Korban perkosaan tidak hanya mengalami penderitaan secara fisik namun juga menderita secara batin. Perkosaan bisa dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan bisa juga sebaliknya.
Namun yang umum sering terjadi pelakunya adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan, tak jarang juga korban perkosaan yang statusnya masih anak-anak.
Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan perkosaan yang menimpa anak usia 13 Tahun di wilayah Kabupaten Lebak, Banten, pelakunya terdiri dari 4 orang dan tiga diantaranya sudah masuk dalam kategori orang dewasa.
Ada hal yang sangat disayangkan dari kasus tersebut, berdasarkan berita yang dimuat oleh beberapa media.
Kasus yang awalnya sudah masuk pelaporan di Kantor Polisi Sektor Bayah tiba-tiba dicabut dengan alasan antara korban dengan pelaku sudah berdamai dan disaksikan oleh Kepala Desa Bayah Barat.
Perdamaian tersebut dilakukan dengan alasan agar tidak ramai dan mencuat ke publik. Hal yang demikian itu apakah bentuk solusi atau reviktimisasi bagi korban kejahatan seksual ?
Posisi dan status korban dalam hubungannya dengan kejahatan dan tindak pidana adalah bervariasi. Korban tidak selamanya betul-betul korban alias ‘innocent’, namun korban juga memiliki variasi relasi tertentu yang sedikit banyak dapat berkontribusi atas terjadinya kejahatan terhadap dirinya ataupun kelompoknya.
Hans von Hentig (dalam Yulia, 2010 : 81 dan Waluyo, 2012 : 19) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah :
Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari si korban.
Beniamin Mendelsohn (dalamYulia, 2010 : 80 dan Waluyo, 2012 : 19 – 20) menyebutkan bahwa berdasarkan derajat kesalahannya, korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam antara lain:
Yang sama sekali tidak bersalah, yang jadi korban karena kelalaiannya, yang sama salahnya dengan pelaku, yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Soal perkosaan bukan lagi masalah kehormatan atau keperawanan, tetapi lebih pada soal terenggutnya hak asasi seorang perempuan, yakni hak-hak kehidupan, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama dan manusiawi dimuka umum, hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.
Dalam tindak pidana kejahatan seksual (Perkosaan), fenomena di Kabupaten Lebak tersebut mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban, seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya yang tak mudah diproses laporannya, karena sejak awal keterangan korban sudah diragukan.
Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat penegak hukum, bahwa ketika korban jalan dengan pelaku bukan berarti ia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu.
Begitupun sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.
Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih rentan kecurigaan bahwa korban “bukanlah Perempuan baik-baik.”
Pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan seksual diartikan sebagai salah satu bentuk perlindungan tidak hanya bagi korban, tetapi bagi perempuan pada umumnya.
Namun ketika pelaku dijatuhi hukuman pun korban tidak mendapatkan apa-apa selain penderitaan yang terus membekas hingga akhir hidupnya.
Perlindungan bagi korban kejahatan seksual saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam Undang-Undang tersebut banyak mengatur mengenai apa saja yang menjadi hak-hak korban Kekerasan Seksual termasuk juga perkosaan.
Sebagaimana trecantum dalam pasal 66, 67, 68, 69, dan 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 hak-hak korban kekerasan seksual diantaranya yaitu mendapatkan Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa korban kejahatan seksual belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya.
Seringkali, yang terjadi adalah viktimisasi berulang (reviktimisasi) ataupun double victimization. Dimana, pada banyak kasus korban kejahatan seksual setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat pensikapan aparat hukum yang kurang tepat.
Maka, alih-alih hak-hak korban diperhatikan, sebaliknya korban malah menjadi korban lanjutan dari kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun masyarakat.**"
Penulis adalah Thania Rachmanie Imanissa Putri, S.H, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang dan juga aktivis Perempuan di LBH Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusi (PAHAM) Cabang Banten.