Kasepuhan Gelar Alam, Menanam Padi Memanen Kehidupan
- Istimewa
“Nasi ditanam oleh manusia Kang,” jawabku.
“Nah eta, oleh sebab itu, kami percaya jika kami menjual beras yang kami tanam di tanah kami ke luar desa ini, itu sama saja seperti… menjual kemanusiaan," ucapnya membuat Hilmi tertegun.
Aku terdiam. Wow. Takjub. Terasa filosofikal, agak artifisial, tapi masuk logika. Nilai-nilai seperti ini lah yang menjaga keutuhan dan ketahanan pangan di desa ini.
Kasepuhan Gelar Alam setidaknya memiliki 168 varieties padi. Menurut Abah Ugi, gabah yang disimpan di desa cukup untuk pangan 5 sampai 6 tahun ke depan. Mereka juga masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan kekuatan gotong royong manusia, juga menerapkan waktu menanam mengikuti rasi bintang Kerti dan Kidang. Dengan mengikuti pola ini, bertani tidak akan gagal karena tidak melawan cuaca.
Malam hari itu, awal Oktober 2024, setelah berdendang bersama warga di salah satu panggung, saya memutuskan untuk tidur karena besok pagi saatnya pulang. Saya bermalam di rumah Kang Yoyo bersama tamu-tamu lain yang memenuhi sudut rumahnya yang luas beralaskan bambu. Saya berusaha memejamkan mata, menarik sarung, tapi masih memikirkan beberapa hari yang sudah saya lewati.
Hilmi teringat tulisan Fritjof Capra dalam The Web of Life (1996), sebuah budaya tidak bisa dipisahkan dari alam, dan setiap aktivitas budaya, termasuk seni, merupakan bagian integral dari hubungan manusia dengan lingkungan mereka. Di Gelar Alam, hubungan ini terlihat jelas dalam praktik-praktik pertanian tradisional, seperti penanaman padi yang penuh dengan ritual dan upacara yang sarat dengan elemen seni.