Tak Terima Anak Ditetapkan Tersangka Penganiayaan, Anggota DPRD Banten Laporkan Penyidik dan Ajukan Praperadilan

Kuasa hukum Djasmarni
Sumber :
  • Yandi Sofyan/banten.viva.co.id

Banten.viva.co.id – Anggota DPRD Banten fraksi NasDem, Djasmarni turut angkat bicara usai anak dan keluarganya ditetapkan tersangka penganiayaan terhadap seorang sekuriti oleh Polda Banten pada Minggu (3 November 2024) lalu.

Baru 2 Hari Ditangkap Kasus Narkoba, Guru Honorer Dilaporkan Meninggal, Polda Banten Beri Penjelasan

Diketahui, 5 orang ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap sekuriti bernama Edi Mulyadi, buntut sengketa lahan seluas 500 meter persegi di Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten. Salah satu tersangka berinisial WR (34 tahun) merupakan anak Anggota DPRD Provinsi Banten dari fraksi NasDem, Djasmarni.

Djasmarni melalui kuasa hukumnya Iwan Kurniawan mengaku miris terhadap proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polda Banten. Menurut Iwan, pihak keamanan dari PT BMP yang melakukan penyerangan dan memprovokasi lebih dulu saat pihak Djasmarni tengah melakukan pemagaran di lahan miliknya.

Jejak Pemilu Apresiasi Polda Banten yang Komitmen Jaga Netralitas dan Keamanan Pilkada 2024

"Ini miris, gimana perlakuannya kalau ke masyarakat biasa. Ibu Djasmarni tercatat sebagai pensiunan Polri dan sekarang jadi anggota DPRD Banten. Kami khawatir aja mantan anggota Polri dan anggota DPRD dapat perlakuan yang semestinya bisa dikedepankan sisi kemanusiannya, ternyata yang didapat malah keluarganya ditahan dan ditangkap, kata Iwan, Rabu (20 November 2024).

"Saat kejadian, ada oknum mengatasnamakan keamanan dibantu sekuriti melarang dan menghalangi kegiatan pembangunan dari pihak keluarga ibu Djasmarni di tanah miliknya," imbuhnya.

Netralitas Polda Banten Dipertanyakan, Postingan Media Sosial Dipenuhi Kampanye Cagub

Pasalnya, Iwan mengklaim memiliki bukti video penghadangan dan penyerangan lebih dulu yang dilakukan oleh oknum keamanan tersebut kepada pihak keluarga Djasmarni.

Namun, lanjut Iwan, pihak Polda Banten tidak menggubris bukti-bukti yang disampaikan oleh pihaknya dan hanya menerima laporan dari pihak sekuriti sehingga menuding pihak keluarga Djasmarni yang bersalah.

"Ini salah satu yang kami soroti juga penanganan perkara penyidik Polda Banten, kenapa ada 2 laporan tapi cuma 1 yang naik? Kita ada bukti kalau mereka duluan yang melakukan pemukulan," ujar Iwan.

"Pada saat kejadian itu pihak keluarga ibu Diasmarni langsung ke Polda Banten, tapi menurut keluarga itu tidak ditanggapi, tapi yang ditanggapi justru cuma laporan dari mereka," lanjutnya.

Saat disinggung mengenai kesepakatan antara pihak Djasmarni dengan pihak sekuriti yang dilakukan seminggu sebelum insiden perkelahian terjadi, Iwan menegaskan bahwa kliennya hanya ingin mengakses lahan miliknya tanpa ada intervensi dan intimidasi dari pihak manapun.

Sebab, kata Iwan, tudingan lahan milik Djasmarni masih dalam proses sengketa tak dapat dibuktikan lantaran saudari Neneng Aisyah yang mengklaim memiliki AJB atas lahan seluas 500 meter itu tak pernah mengajukan gugatan praperadilan.

"Saudari Neneng yang ngerasa sebagai pemilik kok PT BMP yang datang menghalangi. Ini yang jadi pertanyaan besar kenapa AJB ditandingkan dengan SHM. Sedangkan belum ada pembuktian dari saudari Neneg soal keabsahan AJB-nya itu, dan saudari Neneng bukan pihak yang ikut bersepakat dalam musyawarah itu," terangnya.

Lebih lanjut, Iwan menjelaskan, keabsahan SHM yang dipegang Djasmarni telah melalui proses dan tercatat di BPN setempat hingga pernah menjaminkan lahan tersebut ke bank. Sehingga menurutnya wajar bila Djasmarni tidak perlu menempuh izin ke pihak Neneng Aisyah yang mengklaim memiliki AJB saat akan melakukan pemagaran di lahan tersebut.

"SHM ibu Djasmarni sudah melalui proses yuridis dan tinjauan di lapangan, lahannya sudah pernah diukur dan surat ukurnya dibuatkan tahun 2010. Pemegang sebelumya atas nama Rina Wandidi, dan sudah tercatat di BPN. Dan ibu Djasmarni itu sebagai pembeli di tahun 2013, dan ada pencatatan tanggungan dari bank Bukopin di tahun 2013 juga," ungkapnya.

"Semenjak sertifikat ini ada, dan mereka mengaku punya AJB tahun 1993, kenapa baru sekarang mengklaim. Padahal ibu Djasmarni itu sudah dari tahun 2013 membeli. Kenapa ibu Djasmarni harus dihalangi ketika mau mengakses harta bendanya sendiri?," sambung Iwan.

Oleh sebab itu, dengan tegas Iwan menyebut penyidik Polda Banten tidak cermat dalam menangani perkara lantaran hanya melihat perspektif prasangka tindakan kekerasan tanpa mempertimbangkan klausul awal mula terjadinya kekerasan tersebut.

Lanjut Iwan, pihak keluarga Djasmarni hanya mencoba melindungi diri dari penyerangan sekelompok oknum keamanan yang mencoba menghalangi aktivitas pemagaran di lahan miliknya sendiri.

"Dalam undang-undang, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasannta. Kenapa penyidik tidak hati-hati dalam menangani perkara? Kami menduga kasus ini tidak ditangani secara profesional," tegas Iwan.

Untuk itu, Iwan menyampaikan, saat ini pihaknya telah melaporkan penyidik Ditreskrimum Polda Banten ke Bidpropam dan akan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Serang untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka kepada keluarga Djasmarni.

"Kita laporkan penyidik ke Propam Polda Banten, kalau tidak ditindaklanjuti juga kita akan lapor ke Mabes Polri. Untuk praperadilan itu sudah ada tim lain, tinggal menunggu jadwal sidang," tandasnya.