Darurat Korupsi di Indonesia: Panggilan untuk Bergerak, Kritik terhadap Pemerintahan Jokowi
Banten.viva.co.id –Rakyat Indonesia dikejutkan oleh berbagai isu terkait tingginya hutang pemerintah dan dugaan intervensi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa pemerintahan Jokowi.
Mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengungkapkan adanya upaya penghentian penyidikan terhadap kasus korupsi oleh Presiden Jokowi pada kasus pengadaan e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.
Agus mengatakan, saat itu lembaga yang dipimpinnya sedang membidik eks Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam mega korupsi pengadaan e-KTP.
Presiden Jokowi saat itu memanggil Agus Rahardjo untuk meminta agar pengusutan kasus Setya Novanto (Setnov) dihentikan.
Menurut kesaksian Agus, dia diperintah untuk masuk melalui jalur khusus, sehingga tidak diketahui awak media saat kehadirannya di Istana. "Dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," kata Agus.
Singkat cerita, Agus menolak untuk menghentikan proses penyidikan Setnov karena pada saat intervensi itu terjadi, UU KPK itu belum memberlakukan adanya SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan), sehingga perintah presiden tersebut tidak bisa dikabulkan oleh Agus.
“Akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian KPK di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu," kata Agus, Selasa 5 Desember 2023.
Sejak revisi UU KPK disahkan dan diberlakukan, pada Jumat, 13 September 2019 silam, tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah ke Presiden Jokowi.
Sebelumnya, KPK berdiri independen dan hanya bertanggungjawab kepada masyarakat.
Meski ada pandangan yang menilai kesaksian Agus Rahardjo bernuansa politis, DPP NCW menyambut gembira pengungkapan ini sebagai bukti ketidakpatutan Presiden Jokowi mempertahankan jabatannya, mencatat beberapa dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi dan kroni-kroninya.
“Meskipun banyak yang menuding kesaksian Agus Rahardjo ini bernuansa politis dan tidak memiliki bukti yang kuat, namun DPP NCW menyakini Agus bicara sesuai fakta yang dialaminya pada masa itu. Ini kesekian kalinya Jokowi melanggar konstitusi, UU 28 tahun 1999 terkait Penyelenggara Negara yang bebas dan bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN),” ungkap Hanif Ketum DPP NCW.
Dalam dua bulan terakhir, DPP NCW sangat gencar menyuarakan betapa korupnya oknum-oknum penyelenggara negara di lingkungan pemerintahan Jokowi, dan NCW mensinyalir lemahnya pemberantasan KKN saat ini karena adanya kebutuhan rezim Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dugaan NCW tidak sangat beralasan dengan banyaknya terduga korupsi yang sudah diungkapkan oleh DPP NCW, hingga hari ini, tidak satupun yang ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.
“Sebut saja oknum menteri AH, DA, BL, ET dan PS, yang sebelumnya pernah kami ungkapkan dugaan KKN yang mereka lakukan, tapi apa Jokowi peduli? Sudah pasti tidak peduli lah, gimana mau peduli kalau Jokowi juga “ikutan” menabrak konstitusi demi kepentingan dinastinya,” kata Hanif
NCW juga menyuarakan kekhawatiran akan maraknya korupsi di lingkungan pemerintahan Jokowi, menyoroti kelemahan dalam pemberantasan korupsi.
NCW menegaskan perlunya tindakan tegas dari wakil rakyat untuk menghentikan kekuasaan yang dianggap berlebihan yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi melalui Sidang Istimewa.
“Mundur secara terhormat atau dimakzulkan oleh rakyat, hanya itu pilihan yang dimiliki Jokowi saat ini,” kata Hanif.
Menyebut beberapa dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi, NCW menilai sudah saatnya tindakan tegas diambil oleh wakil rakyat untuk menghentikan kekuasaan Presiden.
Revisi UU KPK pada tahun 2019 juga menjadi sorotan, karena dianggap telah mengurangi fungsi dan independensi KPK serta menunjukkan tindakan represif terhadap jurnalis, aktivis, dan aparat penegak hukum.
Hanif menjelaskan, ada tiga pelanggaran konstitusi (UU N0 28 tahun 1999) yang dilakukan oleh Jokowi, pertama, orkestrasi yang dilakukan Jokowi dengan relasi kuasa dengan iparnya Anwar Usman mantan Ketua Mahkamah Konstitusi meloloskan putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto melalui Keputusan MK No 90 yang sangat kontroversial.
Kedua, menerima gratifikasi (korupsi) atas ditunjuknya Kaesang Pangarep yang baru 2(dua) hari jadi anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI), diangkat menjadi Ketua Umum PSI.
Ketiga, Jokowi memberikan arahan kepada oknum Mensesneg Pratikno untuk segera mendeklarasikan Gibran menjadi cawapres Prabowo, meminta Menkominfo Budi Arie Setiadi untuk memonitor sentimen negatif terhadap Gibran dan Kaesang, dan meminta Wamendes Paiman Raharjo untuk menggalang suara guna memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Tiga pelanggaran UU No 28 tahun 1999 terkait dugaan KKN dan Pasal 21 UU Tipikor No 31 Tahun 199 oleh Jokowi dan kroni-kroninya, kami rasa sudah cukup alasan bagi wakil rakyat untuk segera melaksanakan Sidang Istimewa (SI) untuk menghentikan kekuasaan Presiden Jokowi.
"Sudah layak untuk dimakzulkan, apalagi Jokowi sudah mengaku memata-matai partai-partai politik dan pelaku politik, tunggu apa lagi wakil rakyat kita," ujar Hanif.