Pemerintah Punya Peranan Penting Dalam Pendirian Rumah Ibadah di Cilegon

Sidang Program Doktoral Rozikin di IPDN.
Sumber :
  • Istimewa

Banten.Viva.co.id - Pembangunan atau pendirian rumah ibadah di Kota Cilegon, Banten masih menjadi perhatian serius. Hal itu dikarenakan masih sulitnya proses perijinan pendirian tempat-tempat ibadah bagi agama tertentu di kota tersebut.  

Dosen Trisakti Ungkap Penyebab JPU Kejati Sumsel Tak Bisa Hukum Lima Terdakwa Kasus Akusisi PT SBS

 

Banyak faktor yang menyebabkan pemerintah daerah Kota Cilegon terlihat sulit dalam mengeluarkan ijin pendirian tempat ibadah di sana. Salah satunya adalah adanya narasi tentang kearifan lokal yang telah terbangun sejak lama kota tersebut.

Dosen Al Azhar Minta BKN Tidak Intervensi Soal Mutasi 19 ASN di Bandung Barat, Begini Katanya

 

Temuan itu diungkap oleh Pengamat Kebijakan Publik, Rozikin dalam Ujian Sidang Terbuka Program Doktor Ilmu Pemerintahan Promovendus I yang berlangsung di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jakarta pada 10 Oktober 2024 lalu.

Kembangkan UMKM, Calon Bupati Serang Andika Hazrumy Gagas 1 Desa 1 Produk Unggulan

 

Dalam disertasinya, Rozikin menggunakan pendekatan Narrative Policy Frameworks untuk menganalisis implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadat.

 

Dosen Administrasi Publik di Universitas Krisnadwipayana itu juga menegaskan, bahwa kebijakan tentang kerukunan umat beragama sangat dipengaruhi oleh narasi kearifan lokal atau adat masyarakat setempat. 

 

"Di Cilegon, nilai-nilai lokal tersebut tidak jarang menjadi kerangka berpikir utama dalam memahami dan menjalankan kebijakan terkait pendirian rumah ibadat," kata Rozikin dalam disertasinya, ditulis Rabu, 16 Oktober 2024.

 

Narasi ini, menurut Rozikin, memiliki kekuatan besar dalam menentukan apakah kebijakan diterima atau ditolak oleh masyarakat. Namun, tantangan muncul ketika narasi kearifan lokal berhadapan dengan narasi kontra kebijakan. 

Gereja Sion Salah satu Gereja tertua

Photo :
  • @lengkong_sanggar

Dia mencatat, bahwa narasi kontra sering kali menimbulkan kendala dalam implementasi kebijakan yang dirancang untuk memelihara kerukunan umat beragama. Misalnya, pandangan-pandangan yang bersumber dari kearifan lokal terkadang bertolak belakang dengan nilai-nilai universal yang termuat dalam kebijakan nasional.

 

Menurut penelitian Rozikin, hambatan ini sangat kuat mempengaruhi proses pendirian rumah ibadat di Cilegon. Dalam beberapa kasus, narasi kontra kebijakan menghambat upaya pemerintah untuk menyelaraskan regulasi dengan kebutuhan masyarakat. 

 

"Narasi kontra juga dapat menimbulkan ketegangan sosial, memperburuk situasi, dan membuat kebijakan tidak efektif," ujarnya.

 

Rozikin yang juga Peneliti di lembaga riset Nusantara Foundation itu menilai diperlukan adanya pendekatan baru dalam penyusunan narasi kebijakan. Dengan memahami lebih dalam narasi kearifan lokal dan kontra kebijakan, pemerintah dapat merumuskan strategi yang lebih bijaksana untuk memelihara kerukunan umat beragama. Strategi yang berbasis narasi positif diharapkan dapat memecah kebuntuan antara kebijakan dan realitas sosial di masyarakat.

 

Peranan Pemerintah

 

Rozikin menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memfasilitasi pendirian rumah ibadat sebagai bagian dari infrastruktur publik. Disertasinya yang berjudul Kerangka Kebijakan Naratif dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, menganalisis bagaimana kebijakan yang melibatkan fasilitas umum ini perlu lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat, dipresentasikan dengan tegas dihadapan para Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

 

Menurut dia, bahwa pendirian rumah ibadat bukan sekadar urusan agama, tetapi juga bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana publik. 

Masjid Al-Azhom

Photo :
  • Sherly / viva

"Rumah ibadat harus dipandang sebagai fasilitas umum yang dapat mendukung kerukunan umat beragama, bukan sebagai isu yang diperdebatkan atau dikekang oleh kepentingan kelompok tertentu," katanya.

 

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada hambatan dalam proses pendirian rumah ibadah di tengah masyarakat. Menurut Rozikin, hambatan besar dalam kebijakan ini adalah kurangnya strategi yang matang dalam penyusunan narasi kebijakan. 

 

Rozikin menyatakan bahwa narasi yang dibangun oleh pemerintah harus memperhitungkan konteks sosial dan politik di wilayah seperti Cilegon, di mana berbagai kelompok masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang pentingnya pendirian rumah ibadat.

 

"Pemerintah, dalam hal ini, harus memainkan peran yang lebih aktif untuk menjembatani perbedaan tersebut. Dengan strategi narasi kebijakan yang efektif, pemerintah bisa mengatasi resistensi dari kelompok-kelompok yang menolak pendirian rumah ibadat dan menciptakan ruang dialog yang lebih terbuka. Pemerintah juga perlu memahami bahwa pendirian rumah ibadat, selain berfungsi sebagai fasilitas publik, adalah hak warga negara yang dijamin oleh undang-undang," katanya.

 

"Strategi penyusunan narasi kebijakan memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah lokal perlu lebih cermat dalam merancang narasi kebijakan yang responsif, inklusif, dan mencerminkan kepentingan seluruh warga tanpa memandang perbedaan agama," tambahnya.

 

 

Rozikin selaku penulis merupakan Pengamat sekaligus Peneliti Kebijakan Publik dari Lembaga Riset Nusantara Foundation. 

 

Tulisan dibuat dalam program Doktoral Ilmu Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).