Jejak Tsunami Jadi Tema Utama Penetapan Ujung Kulon Jadi Geopark Nasional
Dikutip dari Lampiran SK tersebut, Secara umum bentang alam Kabupaten Pandeglang dibentuk oleh gunungapi di bagian utara, pegunungan bergelombang di daerah selatan, dan dataran rendah di tengah-tengahnya. Kawasan Geopark Nasional Ujung Kulon dilandasi oleh batuan vulkanik berumur Miosen sebagai batuan tertua.
Batuan hasil aktivitas vulkanik dari periode Miosen hingga Kuarter mendominasi jenis batuan di wilayah ini. Adapun di tengah dan selatan terdapat aktivitas magmatik lain berupa intrusi andesitik-basaltik serta endapan piroklastik yang terbentuk pada Kala Pliosen.
Tema utama yang diangkat pada kawasan geopark Nasional Ujung Kulon adalah keberadaan jejak tsunami akibat aktivitas Gunungapi Krakatau yang mudah dijumpai di sepanjang pantai. Endapan tsunami tersebut bukan saja akibat peristiwa letusan besar tahun 1883, tetapi juga disebabkan oleh peristiwa geologi lain sebelum dan setelahnya, antara lain pada tahun 2018 terjadi peristiwa letusan yang diikuti oleh longsoran.
Endapan tsunami dapat berupa bongkah batugamping yang terdampar di daratan jauh dari pantai maupun yang berada di lepas pantai, atau endapan tsunami halus seperti yang ada di Pantai Cipenyu.
Salah satu kegiatan budaya masyarakat untuk mengenang peristiwa meletusnya Gunungapi Krakatau pada tahun 1883 adalah upacara Haul Kalembak. Upacara Haul Kalembak dilakukan pada saat musim angin barat.
Pada musim tersebut muncul angin kencang yang menghasilkan gelombang besar menuju pantai. Masyarakat menyebut gelombang tersebut sebagai kalembak. Upacara Haul Kalembak diselenggarakan oleh masyarakat pesisir di Masjid Caringin. Masjid ini merupakan masjid kuno yang dibangun kembali setelah mengalami kerusakan akibat letusan Gunungapi Krakatau 1883.
Kawasan Geopark Nasional Ujung Kulon juga meliputi kawasan TNUK sebagai taman nasional tertua di Indonesia dan diresmikan menjadi salah satu Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO pada tahun 1991. Meskipun tsunami akibat letusan Gunungapi Krakatau 1883 telah menyapu sebagian besar kawasan TNUK, akan tetapi beberapa tahun kemudian diketahui bahwa ekosistem di TNUK tumbuh kembali dengan baik dan cepat.