Bukan Rangkasbitung, Ini Ibu Kota Pertama Lebak Banten Yang Berjarak 140km dari Jakarta
- Istimewa
Banten.Viva.co.id - Bukan Rangkasbitung, ini ibu kota pertama Kabupaten Lebak, Banten. Kisah berawal saat Pangeran Sanjaya atau Raden Adipati Jamil, Bupati Lebak Pertama, dan Patih Derus, Patih Lebak Pertama, tidak mampu mengatasi perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Kemudian tahun 1830 Pemerintah Belanda mengganti kedudukan keduanya, Raden Adipati Jamil diganti oleh Raden Tumenggung Adipati Karta Nata Nagara, Demang Jasinga, yang telah berhasil membantu Belanda menumpas perlawanan Nyai Gumparo atau Nyi Mas Gamparan. Selanjutnya Patih Derus diganti oleh Patih Jahar.
Baca Juga :
Arti Nama Lebak, Kabupaten Lebak Berjarak 140km ke Jakarta
Kisah Haru, Rela Lelang Vespa Kesayangan Untuk Bantu Warga Palestina
Fakta Mengejutkan Mengenai Pj Gubernur Banten Terungkap Dalam Survei Ini
Pada tahun 1842, ibu kota Kabupaten Lebak dipindahkan dari Lebak Parahiang, daerah Leuwidamar, ke Warunggunung, namun nama Lebak tetap dipakai.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, ibu kota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung harus dipindahkan.
Kemudian Raden Tumenggung Adipati Karta Natanagara, Bupati Lebak, memerintahkan wakilnya, Patih Jahar (Patih Lebak), agar menemukan lokasi strategis untuk dijadikan ibu kota pusat Pemerintahan Lebak.
Maka ditemukanlah daerah hutan bambu belantara, yang kemudian setelah hutan tersebut dibuka, kemudian langsung dinamai Rangkasbitung.
Lalu dimulailah pembangunan berbagai macam sarana pusat pemerintahan, pelaksanaan pemindahan ibu kotanya secara resmi baru dilaksanakan pada tahun 1851 dengan diresmikan pada tanggal 31 Maret 1851.
Kabupaten Lebak juga dikenal sebagai tempat bertugasnya Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli.
Eduard pada 1856 pernah diangkat sebagai Asisten Residen. Setelah mengundurkan diri dari tugasnya di Lebak selama tiga bulan, Multatuli kemudian menerbitkan bukunya empat tahun kemudian, dengan judul Max Havelaar. Tulisan itu berupa novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.