Mantan Wartawan Jadi Presiden
- Istimewa
Banten.Viva.co.id - Siapa bilang wartawan gak bisa jadi Presiden? Ada loh mantan wartawan yang bisa memimpin Indonesia dengan beraneka ragam suku dan berpulu-pulau.
Namanya Syafruddin Prawiranegara, pria kelahiran Anyer, Kabupaten Serang, pada 28 Februari 1911 itu pernah jadi wartawan. Pahlawan nasional itu meninggal di usia 78 tahun, pada 15 Februari 1989 dan di makamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
Baca Juga :
Celah Hakim MK Bisa Dicopot dari Jabatannya
3 Tanda Seorang Wanita Itu Memiliki Sifat Bijaksana Meski Sikapnya Manja dan Kekanak-kanakan
Deretan Harta Kekayaan Tiga Calon Pj Walikota Serang, Dua Pejabat Ini Paling Tajir
Syafruddin Prawiranegara pernah memimpin Indonesia menggantikan Soekarno sebagai Presiden selama tujuh bulan. Dia menjadi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) atau presiden Republik Indonesia selama tujuh bulan, di Sumatera Barat, pada 1948, saat agresi militer Belanda ke 2. Kemudian mandatnya itu dikembalikan lagi ke Soekarno pada 14 Juli 1949.
Mantan wartawan itu juga pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama. Dikenal sebagai sosok yang akrab dengan kacamata dan peci hitamnya.
Sosok Syafrudin Prawiranegara dikenal sebagai sosok ekonomi dan negarawan yang ulung. Dia mempertahankan negara Indonesia tetap berdiri hingga saat ini, bersama-sama Soekarno dan Hatta kala itu.
"(Syafruddin Prawiranegara) dikenal sebagai sosok negarawan dan ekonom Indonesia. Dia merupakan Gubernur Bank Indonesia pertama pada periode 1952-1958, serta Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949," ujar Al Muktabar, Pj Gubernur Banten, Senin, 30 Oktober 2023.
Sebelum masuk ke pemerintahan, Syafrudin muda pernah menjadi wartawan di surat kabar Soeara Timur dan mengetuai Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) antara 1940 hingga 1941.
Syafrudin Prawiranegara memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah, bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja, seorang jaksa di Serang, Banten, kemudian jadi camat di Jawa Timur.
Kemudian ibunya, Sutan Alam Intan, keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat perang Padri.
"Semangat beliau itu seakan menjadi tali pengikat yang kuat bagi kami. Itu menjadi pondasi modal sosial kami dalam melakukan pembangunan di Provinsi Banten," terangnya.