Mendamaikan Korban dan Pelaku Kejahatan Seksual, Solusi atau Reviktimisasi?

Thania Rachmanie Imanissa Putri, S.H
Sumber :
  • Dok.pribadi

Dalam tindak pidana kejahatan seksual (Perkosaan), fenomena di Kabupaten Lebak tersebut mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban, seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya yang tak mudah diproses laporannya, karena sejak awal keterangan korban sudah diragukan. 

Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat penegak hukum, bahwa ketika korban jalan dengan pelaku bukan berarti ia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu. 

Begitupun sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.

Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih rentan kecurigaan bahwa korban “bukanlah Perempuan baik-baik.”

Pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan seksual diartikan sebagai salah satu bentuk perlindungan tidak hanya bagi korban, tetapi bagi perempuan pada umumnya. 

Namun ketika pelaku dijatuhi hukuman pun korban tidak mendapatkan apa-apa selain penderitaan yang terus membekas hingga akhir hidupnya. 

Perlindungan bagi korban kejahatan seksual saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.