Mendamaikan Korban dan Pelaku Kejahatan Seksual, Solusi atau Reviktimisasi?

Thania Rachmanie Imanissa Putri, S.H
Sumber :
  • Dok.pribadi

Posisi dan status korban dalam hubungannya dengan kejahatan dan tindak pidana adalah bervariasi. Korban tidak selamanya betul-betul korban alias ‘innocent’, namun korban juga memiliki variasi relasi tertentu yang sedikit banyak dapat berkontribusi atas terjadinya kejahatan terhadap dirinya ataupun kelompoknya.

Hans von Hentig (dalam Yulia, 2010 : 81 dan Waluyo, 2012 : 19) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah :

Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari si korban.

Beniamin Mendelsohn (dalamYulia, 2010 : 80 dan Waluyo, 2012 : 19 – 20) menyebutkan bahwa berdasarkan derajat kesalahannya, korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam antara lain:

Yang sama sekali tidak bersalah, yang jadi korban karena kelalaiannya, yang sama salahnya dengan pelaku, yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).

Soal perkosaan bukan lagi masalah kehormatan atau keperawanan, tetapi lebih pada soal terenggutnya hak asasi seorang perempuan, yakni hak-hak kehidupan, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama dan manusiawi dimuka umum, hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.