Dugaan Rekayasa Kasus, Penyidik Polres Kutai Barat Dilaporkan IPW ke Propam Mabes Polri
Banten.viva.co.id –Indonesia Police Watch (IPW) mengajukan laporan resmi ke Kadiv Propam Mabes Polri terhadap penyidik Satreskrim Polres Kutai Barat yang diduga melakukan pelanggaran serius dalam penanganan kasus mafia tanah.
Laporan ini menyebutkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang hingga manipulasi perkara yang menyebabkan tokoh masyarakat, Isran Kuis, ditetapkan sebagai tersangka secara tidak adil.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyoroti tindakan penyidik yang diduga merekayasa kasus penggelapan senilai Rp500 juta terhadap Isran Kuis.
Ia menegaskan bahwa penyidik memaksa mengambil sidik jari Isran Kuis yang sedang sakit dan tidak sadarkan diri untuk menggantikan tanda tangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Tindakan penyidik yang memaksa sidik jari seseorang yang sedang dalam kondisi tidak sadar adalah bentuk penyalahgunaan wewenang," ujar Sugeng.
IPW menilai kasus ini sarat dengan konflik kepentingan dan dugaan keterlibatan pihak tertentu yang ingin menguasai hak finansial Isran Kuis dari proyek pembebasan lahan yang pernah ia jalankan dengan PT ISM.
Kasus ini bermula pada Oktober 2021, ketika PT ISM, melalui JDHS, mengajak Isran Kuis bekerja sama dalam pembebasan lahan di Kutai Barat.
Mengingat wilayah ini merupakan tanah adat dengan resistensi sosial tinggi, perusahaan tambang batubara tersebut membutuhkan figur berpengaruh seperti Isran Kuis untuk membantu kelancaran proses pembelian lahan.
Kedua belah pihak sepakat bahwa Isran Kuis akan lebih dulu membeli tanah dari masyarakat dan menjualnya kembali ke PT ISM dengan harga Rp30.000 per meter persegi.
Perjanjian ini disaksikan oleh notaris Maria Olympia Bercelona Djoka dan Ivana Victorya Kamaluddin.
Namun, pada 27 Desember 2024, penyidik Polres Kutai Barat menetapkan Isran Kuis sebagai tersangka berdasarkan BAP yang diduga telah dimanipulasi.
Salah satu keterangan penting dalam perjanjian awal, yakni kesepakatan harga tanah sebesar Rp30.000 per meter persegi, tiba-tiba hilang dari dokumen penyidikan pada 13 Agustus 2024.
Putra Isran Kuis, Romi, yang hadir mendampingi ayahnya saat pemeriksaan, sempat memprotes penghapusan informasi tersebut. Namun, penyidik mengabaikan protes tersebut dan tetap melanjutkan penyidikan.
Dari hasil investigasi, IPW menemukan bahwa PT ISM masih memiliki kewajiban pembayaran sebesar Rp5,05 miliar kepada Isran Kuis.
Total luas tanah yang telah dibeli dan dijual kembali ke PT ISM mencapai 251.891 meter persegi, dengan nilai transaksi keseluruhan sebesar Rp7,55 miliar.
Namun, JDHS selaku perwakilan perusahaan baru membayar Rp1,59 miliar, sehingga masih ada sisa pembayaran yang belum dituntaskan.
Alih-alih menyelesaikan kewajiban pembayaran, JDHS justru diduga merekayasa laporan ke Polres Kutai Barat, menuding Isran Kuis melakukan penggelapan.
IPW juga mengungkap bahwa notaris yang menangani transaksi ini tidak pernah memberikan salinan akta kesepakatan kepada Isran Kuis, meskipun telah diminta secara resmi melalui kuasa hukumnya, Widi Seno, SH.
Hal ini menjadi salah satu indikasi adanya dugaan pelanggaran dalam administrasi hukum yang mengarah pada praktik mafia tanah.
Kasus ini semakin kompleks dengan munculnya laporan lain terkait praktik mafia tanah yang melibatkan PT ISM.
Salah satu kasus yang juga dilaporkan ke Polres Kutai Barat adalah dugaan pemalsuan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPAT) oleh pihak perusahaan, yang merugikan seorang warga bernama Suryadi.
IPW menilai bahwa kasus yang menimpa Isran Kuis hanyalah fenomena gunung es, di mana masih banyak kasus serupa yang belum terungkap.
"Kami meminta Kapolri dan Kadiv Propam Mabes Polri untuk segera turun tangan. Kasus ini bisa menjadi contoh nyata bagaimana mafia tanah beroperasi dengan melibatkan oknum penegak hukum," ujar Sugeng.
Sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat yang mengalami kasus serupa, IPW berencana membuka "Kotak Pengaduan Korban Mafia Tanah PT ISM di Kubar" agar para korban bisa melaporkan dugaan praktik ilegal yang mereka alami.
IPW berkeyakinan Penyidik Polres Kubar dikualifisir melanggar Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian RI.
Dimana Paragraf 2, Etika Kelembagaan, Pasal 10, (1) Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kelembagaan dilarang
a. melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur, meliputi
1. penegakan hukum, huruf c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggungjawabnya dalam rangka penegakan hukum.
Dengan laporan ini, IPW berharap ada tindakan nyata dari Mabes Polri untuk mengusut dugaan rekayasa kasus dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik Polres Kutai Barat.
Jika terbukti bersalah, maka pihak terkait harus diberikan sanksi tegas demi menjaga integritas penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa mafia tanah masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat, terutama di daerah yang memiliki kepentingan ekonomi tinggi seperti Kutai Barat.
Dengan perhatian publik dan tindakan tegas dari aparat, diharapkan kasus serupa tidak lagi terjadi di masa mendatang.