Aneurisma Otak Tidak Memiliki Gejala, Begini Tips Untuk Menghindarinya
- Sherly/viva
Banten VIVA - Aneurisma, penyakit dengan kondisi penggelembungan karena dinding pembuluh darah melemah, saat ini tengah menjadi pembahasan, lantaran dokter dan influencer, yakni dr Azmi Fadhlih dikabarkan mengalami pecah pembuluh darah di otak akibat aneurisma, yang akhirnya meninggal dunia.
Adanya hal ini, sejumlah dokter dan ahli pun angkat bicara mengenai aneurisma yang sering kali diibaratkan sebagai bom waktu. Hal ini karena dalam beberapa kasus, penyakit yang menyerang otak tersebut tidak memiliki gejala.
Dr. dr. Mardjono Tjahjadi, Sp.BS, Subsp.N-Vas(K), PhD, FICS atau yang biasa disapa dengan dr. Joy dari Mandaya Royal Hospital Puri mengatakan, bahwa menurut statistik, 1 dari 50 orang memiliki aneurisma.
Hanya saja, seringkali kondisi ini tidak memicu gejala apa pun, hingga pada akhirnya kondisinya memburuk tanpa penanganan atau ketika pembuluh darah sudah pecah.
"Pada beberapa kasus, tidak ada gejala apapun. Padahal, jika aneurisma sudah pecah, maka kesempatan hidup hanya ada 50 persen," katanya, Rabu, 18 Desember 2024.
Terkadang, gejala yang dapat timbul saat benjolan sudah pecah antara lain, mual dan muntah, leher kaku, penglihatan kabur, kelopak mata turun, dan beberapa orang mengalami pingsan.
"Hampir 90 persen pengidap aneurisma tidak merasakan gejala apa pun. Dan memang, lebih umum terjadi pada orang usia tua, aneurisma juga dapat terjadi di usia muda. Risiko seseorang terkena aneurisma akan meningkat pada perempuan, usia 40 tahun ke atas, punya kebiasaan merokok, dan memiliki tekanan darah tinggi," jelas dia.
Sehingga, pasien disarankan melakukan screening atau pemeriksaan dini seperti cek MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau MRA (Magnetic Resonance Angiography).
"Kalau sudah ada benjolan, disarankan ith MRI atau MRA. Supaya jika ternyata ada benjolan, bisa segera ditangani sebelum pecah. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan MRI dan MRA tampak ada kelainan bentuk yang dicurigai sebagai benjolan aneurisma, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan DSA (Digital Subtraction Angiography)," ujarnya.
DSA adalah prosedur pemeriksaan pembuluh darah dengan menggunakan cairan kontras dan x-ray yang hasil pemeriksaannya dapat dilihat langsung di komputer dengan sangat jelas tanpa terhalang jaringan tulang. Prosedur DSA selama ini dikenal sebagai prosedur cuci otak.
Namun, menurut dr. Joy, istilah ini sebetulnya kurang tepat. Pada dasarnya, DSA memang tidak hanya bisa dilakukan untuk diagnosis, tapi juga untuk pengobatan.
Pada terapi DSA, dokter akan memasukkan koil atau kawat kecil ke pembuluh darah di otak dan diarahkan ke dalam benjolan untuk menyumbat aliran darah ke area tersebut, sehingga darah tetap mengalir sesuai jalur normalnya.
Ketika benjolan di pembuluh darah tersebut dipenuhi dengan kawat dan tidak mendapat aliran darah baru, maka benjolan tidak lagi bisa berkembang hingga pecah.
Selain dengan DSA, penyumbatan benjolan aneurisma juga dapat dilakukan dari luar. Dokter akan membuka sedikit jaringan di area pelipis lalu dengan alat tertentu, benjolan akan dijepit, sehingga tidak ada lagi aliran darah yang masuk ke area tersebut.
Pemilihan perawatan dengan DSA maupun penyumbatan dari luar akan disesuaikan dengan kondisi pasien, termasuk usia serta lokasi, ukuran, dan bentuk benjolan.
"Aneurisma bisa disembuhkan. Selama ditangani sebelum pecah, maka pasiennya nanti bisa beraktivitas kembali. Sayangnya, kebanyakan orang datang ke dokter setelah aneurisma bocor atau pecah. Di Indonesia sendiri 99 persen pasien datang ke dokter dalam kondisi aneurisma sudah pecah," ungkapnya.
Melihat kondisi ini, maka screening untuk aneurisma disarankan untuk dilakukan secara teratur. Selain itu, perubahan gaya hidup dengan berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, mengonsumsi makanan sehat, dan olahraga teratur juga dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terkena aneurisma.