Menyemai Sastra di Lereng Medini: Kisah Komunitas Sastra di Tengah Heningnya Desa Boja

Heri Chandra Santoso
Sumber :
  • Astra

Banten.viva.co.id –Di Desa Boja, Kendal, Jawa Tengah, di antara hamparan sawah dan bukit hijau, suara sastra menggema dari sebuah tempat sederhana. 

Di lereng Pegunungan Medini, Komunitas Lereng Medini (KLM) berdiri sebagai oase pengetahuan yang membawa literasi dan sastra ke dalam kehidupan masyarakat desa. 

Mereka tidak sekadar mencintai sastra tapi menghidupkannya, menyemai benih-benih kata di hati para pemuda desa yang jauh dari hingar-bingar kota.

Komunitas ini lahir dari impian Heri Chandra Santoso, seorang jurnalis dan alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, bersama rekannya, Sigit Susanto, seorang pegiat sastra yang kini bermukim di Swiss. 

Pada 2008, keduanya menyadari bahwa sastra bisa lebih dari sekadar hiburan atau hobi eksklusif di kalangan perkotaan. 

Bagi Heri dan Sigit, sastra adalah sarana pembebasan diri dan jalan untuk memahami kehidupan.

Namun, perjalanan mereka tidaklah instan. Dua tahun sebelum mendirikan KLM, mereka terlebih dahulu membuka “Pondok Maos,” sebuah perpustakaan gratis yang mereka dirikan di rumah Sigit di Desa Bebengan, Boja. 

Koleksi bukunya adalah karya sastra yang dikumpulkan perlahan dari berbagai penulis, baik dalam maupun luar negeri. 

Di tempat inilah, anak-anak dan pemuda desa mulai mengenal sastra, membuka halaman demi halaman yang bagi mereka mungkin terasa asing, tetapi memberi mereka perspektif baru tentang dunia di luar desa mereka.

“Bagi kami, sebelum belajar sastra, mereka harus diajak untuk mencintai bacaan,” ujar Heri, menjelaskan langkah awal KLM. 

Pondok Maos pun menjadi tempat favorit baru, di mana anak-anak desa datang untuk menghabiskan waktu membaca buku. 

Melalui kata-kata, mereka diajak menjelajahi dunia yang selama ini hanya bisa mereka dengar dari cerita orang.

Tidak berhenti di situ, Komunitas Lereng Medini melangkah lebih jauh. Kegiatan yang mereka adakan mencakup kelompok baca, kajian sastra, hingga diskusi bersama. 

Di sini, para pemuda belajar menafsirkan makna cerita, merenungkan nilai-nilai yang tersirat di balik kalimat. 

Mereka belajar tidak hanya tentang sastra, tetapi juga tentang kehidupan, tentang bagaimana memaknai manusia dan lingkungannya.

Suasana desa yang sepi justru menjadi ruang yang ideal bagi para pemuda untuk berkonsentrasi. 

Di bawah langit yang cerah dan suara gemericik sungai, mereka bisa merasakan kedekatan dengan alam, menemukan inspirasi dalam setiap napas alam yang mengelilingi mereka. 

Mereka tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari heningnya desa, dari keberagaman hayati yang ada di sekitar mereka.

Bagi Heri dan Sigit, KLM adalah bentuk perjuangan untuk membuka wawasan anak-anak desa tentang kekayaan literasi dan nilai budaya. 

Mereka ingin membuktikan bahwa orang desa juga memiliki hak yang sama untuk menikmati sastra, memahami cerita-cerita yang lahir dari berbagai budaya. 

Di tengah terbatasnya akses informasi, KLM adalah jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia pengetahuan yang lebih luas.

Sastra, bagi mereka, bukan hanya kata-kata, tetapi sebuah cara untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Kini, setelah belasan tahun berdiri, Komunitas Lereng Medini telah menjadi lebih dari sekadar komunitas sastra. 

Mereka adalah simbol semangat belajar, mengajarkan bahwa pengetahuan bisa hadir dan hidup di mana saja. 

Di lereng Medini yang tenang ini, kata-kata tumbuh bersama pohon-pohon, menjadi bagian dari setiap individu yang datang untuk belajar.

Heri dan Sigit telah membuktikan bahwa sastra tidak hanya milik kota. 

Dengan langkah kecil tapi bermakna, mereka membawa perubahan di desa mereka, menginspirasi generasi muda untuk terus belajar, membaca, dan memahami dunia dengan cara yang lebih dalam. 

Di tengah deru modernitas, KLM menjadi pengingat bahwa sastra adalah jendela dunia yang dapat kita buka, di mana pun kita berada.

Pada tahun 2011, ia diganjar penghargaan Apresiasi Satu Indonesia Awards atas kontribusinya yang luar biasa dalam memberdayakan masyarakat. 

Penghargaan dari Astra ini bukan hanya pengakuan atas kerja kerasnya, tetapi juga simbol harapan baru untuk terus mendengungkan sastra dimana saja.