Bayi Berusia 7 Bulan di Pandeglang Masuk Penjara, Komnas Anak Nilai Banyak Hak yang Diabaikan APH
Banten – Bayi berusia 7 bulan inisial R terpaksa masuk penjara lantaran ikut bersama sang ibu yang merupakan terduga kasus pemalsuan tandatangan dokter dalam surat keterangan bebas COVID-19. Ibu bayi berinisial N, seorang bidan yang bertugas di salah satu Puskesmas yang ada di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Ibu dan anak tersebut ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Pandeglang sejak 28 November 2022. Komisi Nasional atau Komas Anak Kabupaten Pandeglang menyayangkan hal tersebut, mereka menilai banyak hak anak yang diabaikan Aparat Penegak Hukum (APH) terutama Polres dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang.
”Karena ibu N memiliki bayi yang masih berumur 7 bulan dan masih menyusui. Maka si anak pun, mau tidak mau harus ikut merasakan jeruji besi. Kami mengutuk keras APH yang telah melanggar hak-hak anak terkait dengan penempatan anak di dalam Rutan,” kata Ketua Komnas Anak Pandeglang, Gobang Pamungkas, Sabtu 26 November 2022.
Gobang mengungkap, kondisi anak di dalam penjara sangat memprihatinkan, kurang mendapat ASI dan asupan gizi seimbang. Padahal anak tersebut sedang menjalani treatmen akibat memiliki penyakit jantung bawaan sejak lahir.
Sehingga Gobang menilai, para penyidik telah salah dalam menangani terkait anak tersebut dan telah melanggar UU kesehatan Pasal 128, Ayat 2,3 Jo Pasal 200 No 36 tahun 2009, Peraturan bersama Hak menyusui UU Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 83, Pasal 153 Ayat 1, UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
”Setelah kami berkunjung ke Rutan, kondisi anak sangat memprihatinkan. Ini harus menjadi perhatian serius agar hak-hak anak tidak diabaikan oleh APH. Karena jelas penyidik banyak melabrak undang-undang dalam menangani persoalan tersebut,” ujarnya.
Gobang meminta Pengadilan Negeri Pandeglang dapat memerintahkan Jaksa Penunut Umum (JPU) Kejari Pandeglang menangguhkan penahanan kepada ibu dan anak. Komnas Anak juga akan bersurat Kepada Presiden RI, Menko Polhukam, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri PPA, Komnas Perempuan, agar dapat memberikan rumusan penyelesaian perkara yang terbaik bagi anak dan ibunya. Diketahui saat ini proses hukum dugaan tandatangan palsu tersebut sudah menjalani sidang sebanyak dua kali.