Pengamat: Gabungnya Prabowo dalam Pemerintahan Bukan Kekuasaan, tapi Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Subianto
Sumber :
  • Instagram @prabowo

Banten.viva.co.id –Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari mengatakan, tuduhan calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan terhadap Prabowo Subianto yang menyebut tidak kuat menjadi oposisi karena gabung di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah keliru.

Andra-Dimyati Unggul di Pilgub Banten Versi Hitung Cepat, Relawan Tim 08 Ucapkan Selamat

Menurut Qodari, bergabungnya Prabowo dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan dilatarbelakangi karena kekuasaan melainkan semangat rekonsiliasi nasional menghindari polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. 

“Singkatnya Pak Prabowo itu lebih lama dan lebih berpengalaman sebagai oposisi dibandingkan dengan Mas Anies, Pak Prabowo semenjak mendirikan partai Gerindra 2008 ikut pemilu 2009 itu tidak pernah bergabung di pemerintahan,” ujar Qodari kepada wartawan, Kamis 14 Desember 2023. 

Buntut Beredar Video Bagi-bagi Uang Rp50 Ribu, Status Pencalonan Bupati Raden Dewi Bisa Batal, Asal ...

“Berarti sampai dengan 2019 itu 10 tahun berada di luar (pemerintahan), kemudian masuk ke dalam karena pertimbangan semangat rekonsiliasi menghadapi polarisasi yang ada di masyarakat,” imbuhnya.

Qodari menegaskan konteks masuknya Prabowo menjadi bagian koalisi pemerintah dalam rangka merajut persatuan nasional, bersama-sama menghadapi dan memberikan solusi atas permasalahan yang dialami masyarakat.

Makin Kuat, Relawan Jokowi Solmet Siap Menangkan Andika-Nanang di Pilkada Kabupaten Serang

“Jadi masuknya Pak Prabowo itu dengan melihat pertama-tama masalah yang ada di masyarakat jadi sebagai sebuah solusi terhadap permasalahan di masyarakat, jadi gabung tidak gabung itu harus ada konteksnya,” ucapnya.

Qodari mencatat pengalaman Prabowo berada di luar pemerintah lebih lama, dibandingkan dengan Anies Baswedan yang tidak memiliki rekam jejak oposisi, hanya sebatas berseberangan sikap dengan Presiden Jokowi dalam konteks Pilpres 2024.

“Mas Anies pernah di pemerintahan Pak Jokowi lalu kemudian diberhentikan sebagai menteri lalu kemudian maju sebagai gubernur dan terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta,” ucapnya.

“Jadi kalau bicara posisi sebagai oposisi di luar pemerintahan itu, sebetulnya sikapnya saja atau positioning nya oposisi terhadap Pak Jokowi,” sambungnya.

Serangan terhadap Prabowo tidak hanya datang dari Anies, melainkan juga dari capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dalam debat perdana yang digelar oleh KPU.

Dijelaskan Qodari, serangan dari kompetitor Prabowo itu wajar, pasalnya elektabilitasnya jauh unggul dibandingkan dua penyerangnya.

“Wajar ya sebetulnya Pak Prabowo itu dikeroyok karena memang tanpa disadari lawan-lawannya melihat Pak Prabowo itu sebagai calon kuat makanya dikeroyok," ungkapnya. 

"Mas Anies menyerang wajar karena di luar soal ketertinggalan dia adalah slogan perubahan, perubahan itu pasti menyerang keberlanjutan,” paparnya.

“Nah yang menarik kan Mas Ganjar dia mengambil posisi menyerang juga walaupun di sisi yang lain dari beberapa pernyataannya sering mengidentikkan atau diidentikkan dengan pak Jokowi dan Pak Jokowi diasosiasikan dengan Pak Prabowo pada hari ini,” imbuhnya.

Lebih jauh Qodari menyampaikan, serangan Ganjar terhadap Prabowo dan tidak lagi menyerang Presiden Jokowi sebagai strategi untuk mengejar elektabilitas yang trennya menurun.

“Jadi itu bagian dari strategi juga lah bagaimana Mas Ganjar sekarang ini mengatur langkah tidak menyerang Jokowi tapi menyerang Prabowo dan tujuannya sama untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas,” katanya.

Selain itu, Qodari berpendapat efek debat terhadap elektabilitas para capres masih terbatas atau tidak terlalu berpengaruh secara signifikan.

Karenanya dia menduga hanya sebanyak 30 persen masyarakat yang menonton debat, namun untuk melihat dinamika harus melihat data hasil survei pasca debat perdana itu.

“Tentunya harus dilihat dari hasil survei ya, teman-teman yang akan survei setelah debat ini seperti apa kondisinya, tetapi secara matematika memang efek debat itu terbatas, anggaplah bahwa yang nonton debat itu 30%," ucapnya.  

"Kemudian dari 30% itu yang nonton itu 75% sudah punya keputusan sudah menjadi pendukung kuat salah satu capres dan biasanya ini tidak bisa goyang termasuk oleh debat,” jelasnya.

“Karena sisa 20% yang masih lemah dukungannya dan 5% yang belum memutuskan itu yang nanti akan terpengaruh oleh debat. Jadi dari 30% yang nonton debat 25% berpotensi berubah, 25% dari 30% itu 7,5%," katanya. 

"Mungkin maksimal 7,5% itu dan harus dikatakan juga yang 7,5% itukan tidak kumpul di salah satu calon dia akan tersebar di tiga calon,” lanjutnya.

Oleh karena itu, menurut Qodari pengaruh 7,5% jika dibagi rata-rata ke tiga capres tidak begitu berpengaruh, terutama ketika selisih elektabilitasnya itu jauh.

“Mungkin debat ini akan lebih berpengaruh terhadap posisi Ganjar dan Anies yang sedang bersaing tetapi sulit untuk mengubah konstelasi dibanding dengan Prabowo yang sudah jauh di depan,” pungkasnya.