Disebut Gipsy Laut, Ini Potret Kehidupan Suku Bajo yang Menginspirasi Sutradara Film Avatar

Suku Bajo, Indonesia
Sumber :
  • Instagram @klanaexplore

Banten.viva.co.id – Bajo adalah suku nomaden yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka di atas dan di bawah hamparan perairan. Mereka berpindah dari satu perairan menuju perairan lain yang karenanya mereka disebut sebagai gipsy laut.

Mereka berlayar dan menyelam seolah lautan menjadi rumah keduanya. Keakraban suku Bajo dengan laut telah diwariskan dari generasi ke generasi sehingga mereka memiliki warisan genetik kelautan yang tidak dapat ditandingi suku-suku lain di dunia. 

Hal yang sejak lama menimbulkan kekaguman terhadap suku Bajo adalah kemampuan menyelam lebih lama dibandingkan manusia rata-rata, bahkan mereka bisa bertahan hingga 13 menit pada kedalaman 60 meter tanpa menggunakan alat bantu nafas atau oksigen. 

Mereka hanya berbekal pemberat agar tubuh mereka tidak mengapung, ditambah kacamata berbingkai kayu agar mereka tetap bisa melihat dengan baik di dalam air. Padahal pada kedalaman semacam itu, rata-rata orang pada umumnya hanya mampu bertahan antara 30 hingga 60 detik di dalam air. Bahkan rekor terlama di dalam air tanpa alat bantu nafas yang diraih oleh penyelam asal Denmark hanya berkisar 20 menit, dan itu diraih dengan pelatihan yang rutin dan terkonsep dengan baik. 

 

Anak-anak suku Bajo, Indonesia

Photo :
  • Instagram @barrykusuma

 

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Melissa Lardo pemimpin riset dari Center For Biogenetik University Coppanhagen, suku Bajo memiliki ukuran limpa 50 kali lebih besar dibandingkan manusia rata-rata. Pasalnya, ukuran limpa yang lebih besar memberikan produksi oksigen dalam darah mereka lebih besar saat limpa berkontraksi. 

Hubungan kontraksi limpa dengan ketahanan menyelam yang lama pertama kali ditemukan pada tahun 1990 dalam riset pada orang Ama di Jepang yang bekerja sebagai penyelam mutiara laut. Riset lain juga dilakukan terhadap anjing laut yang mengungkap relasi positif kemampuan menyelam maksimum dan ukuran limpa yang mengindikasikan adanya relasi ukuran limpa dan kemampuan lama dalam menyelam. 

Selain kemampuan menyelam yang mengagumkan, salah satu bagian paling unik dari suku Bajo adalah pengembaraan mereka di lautan. Selama ratusan tahun, mereka telah berlayar ke berbagai negeri dari Sabah, Filipina hingga Indonesia

Di Indonesia mereka tersebar di beberapa wilayah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat hingga Pulau Sataken di Madura. Suku Bajo di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara atau Filipina pada zaman pra-sejarah. 

Mereka merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau di sekitarnya. Saat ini suku Bajo menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama Indonesia Timur, bahkan sampai ke Madagaskar. 

 

Perkampungan suku Bajo, Indonesia.

Photo :
  • Instagram @goandred

 

Suku Bajo menggantungkan hidupnya kepada laut, mereka menghabiskan 60 persen aktivitas kerja rata-rata 8 jam dalam sehari di lautan untuk menangkap ikan, kulit penyu dan terumbu karang yang dijadikan perhiasan. 

Bagi mereka, laut adalah rumah kedua atau mungkin rumah utamanya, tempat di mana mereka bermain, belajar kepada alam, menggantungkan hidup dan harapan juga menjalin keakraban. 

Bahkan beberapa di antara mereka akan sakit kepala tatkala tidak mendengar gemuruh ombak, yang ungkapan ini menandai akan kedekatan serta sulitnya mereka untuk dipisahkan dari laut. 

Mereka berprinsip memindahkan orang Bajo ke daratan sama seperti memindahkan penyu ke daratan. Bahkan sejak bayi, anak-anak suku Bajo telah dikenalkan pada laut. 

Dalam suku ini, bayi-bayi yang baru lahir akan dibawa ke laut dan didoakan agar kelak menjadi pelaut tangguh. Laut seolah menyatu dalam setiap diri orang Bajo, suara deburan ombak, angin yang bertiup kencang, udara panas yang berbaur dengan uap air laut adalah kehidupan sejati mereka. 

Keberadaan mereka pun diakui oleh dunia Internasional sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian laut. Dulunya, suku Bajo menetap di dalam perahu, berpindah dari satu tempat menuju tempat lain. Namun saat ini kehidupan mereka tidak se-nomaden para pendahulunya. 

Banyak dari mereka memiliki rumah di atas laut dangkal sebagai tempat tinggal. Mereka tinggal di rumah-rumah di tepian laut yang dibangun di atas tiang pancang agar terhindar dari gelombang pasang. Dinding rumah mereka berbahan dasar kayu dan atapnya terbuat dari rumbia. 

Kendati demikian saat mereka menemukan wilayah dengan potensi alam yang melimpah, mereka akan berpindah dengan membangun pondok-pondok sebagai tempat untuk berteduh ketika cuaca buruk sekaligus sebagai tempat mengolah hasil tangkapannya. Sebagai suku laut, alat transportasi mereka adalah perahu yang juga mereka gunakan untuk mencari nafkah. 

 

Perkampungan suku Bajo, Indonesia.

Photo :
  • Instagram @wdks

 

Umumnya mereka mencari ikan dengan cara-cara tradisional, seperti memancing menggunakan kail, menjaring atau juga memanah. Selanjutnya hasil tangkapannya mereka jual kepada masyarakat di pesisir atau pulau terdekat. 

Selain mencari ikan, masyarakat suku Bajo juga belajar budidaya komunitas bahari lainnya seperti lobster, udang juga ikan kerapu. Kehidupan suku Bajo yang sangat unik beserta keahlian yang mereka warisi dari generasi ke generasi tidak hanya membuat takjub para ilmuwan, tetapi juga menarik minat seorang sutradara ternama James Cameron penggarap film Titanic dan Avatar yang terkenal. 

James menyaksikan kehidupan suku Bajo di Indonesia yang sangat unik pun terinspirasi untuk menyajikan kehidupan mereka dalam film Avatar The Way of Water. James mengatakan bahwa suku Metkayina terinspirasi dari suku Bajo, dan seperti yang diketahui suku Metkayina dalam film Avatar merupakan suku penghuni Pandora yang menjadi penguasa lautan. 

Tidak hanya itu, James juga menghadirkan budaya dan bangunan-bangunan khas orang Bajo tersebut didalam sekuel Avatar lewat sosok suku Metkayina. James menuturkan, bahwa kecintaannya pada laut serta pengalamannya menjelajah laut di Samudra Pasifik telah mendorongnya untuk menghadirkan semua itu dalam sebuah film, menampilkan suku-suku navy yang beradaptasi dengan laut kekayaan alam di lautan beserta budayanya.