Peneliti Asing di Indonesia: Antara Peluang dan Ancaman Keamanan Nasional
- Istimewa
Dalam The Will to Knowledge: The History of Sexuality, Volume 1 (1976), Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak hanya mengontrol tubuh individu melalui disiplin, tetapi juga populasi melalui mekanisme biopolitik.
Dalam konteks Indonesia, data genetik manusia, lanskap geografis, makhluk endemis memiliki nilai strategis yang tinggi dan rentan digunakan sebagai sasaran eksploitasi. Dengan biodiversitas yang melimpah, Indonesia menjadi target potensial bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi kekayaan ini demi keuntungan ekonomi atau geopolitik.
Kemajuan teknologi semakin memperbesar risiko penyalahgunaan data penelitian. Dengan teknologi modern, data penelitian memungkinkan langsung diolah di lokasi pengambilan sample, selanjutnya cukup mengirimkan hasil penelitian ke sponsor di luar negeri berupa data digital terenkripsi tanpa khawatir terdeteksi, sehingga tidak lagi memerlukan MTA (material transfer agreement). Hal ini menyulitkan Indonesia untuk mengawasi aktivitas peneliti asing secara optimal. Dalam banyak kasus, metode transfer data yang canggih sering kali melibatkan enkripsi yang sulit dilacak oleh otoritas domestik. Tantangan ini menuntut peningkatan kapasitas teknologi serta koordinasi yang solid antar instansi terkait.
Regulasi domestik, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sudah mencakup mekanisme perizinan dan pengawasan terhadap penelitian asing. Namun, implementasi regulasi ini memerlukan penguatan. Pemerintah perlu memastikan bahwa data hasil penelitian tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak asing. Selain itu, kerja sama internasional juga harus diarahkan pada transparansi dan perlindungan data untuk mencegah eksploitasi yang merugikan negara Indonesia.