Menantang Komitmen Toleransi Pendirian Rumah Ibadah dari Calon Walikota Cilegon

Imam Rozikin, Pengamat Nusantara Foundation.
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi

Banten.Viva.co.id - Masalah terbatasnya pendirian rumah ibadah di Kota Cilegon, Provinsi Banten, hingga kini tetap menjadi perhatian publik. Salah satu sumber persoalan yang masih dipertahankan adalah Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, tertanggal 20 Maret 1975, yang mengatur penutupan gereja atau tempat ibadah Kristen di Kabupaten Serang.

 

SK ini secara historis menjadi hambatan besar bagi pemeluk agama selain Islam untuk mendirikan rumah ibadah, termasuk di Cilegon, yang dulunya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Serang. Meski banyak perubahan terjadi, kebijakan tersebut masih dipedomani oleh berbagai lembaga dan masyarakat setempat.

 

Pengamat kebijakan publik dari Nusantara Foundation, Imam Rozikin, dalam penelitian berjudul Kerangka Kebijakan Naratif dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah menyoroti bagaimana SK Bupati Serang 1975 ini terus menghalangi implementasi yang adil atas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 (PBM) tentang pedoman pendirian rumah ibadah. 

 

Meskipun PBM secara hukum berlaku untuk memfasilitasi kerukunan umat beragama, SK Bupati Serang 1975 masih digunakan oleh aktor-aktor di berbagai level kelembagaan, sehingga menciptakan kebuntuan dalam pendirian rumah ibadah di Cilegon.

 

Dalam disertasinya di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang dipromotori Prof. Ermaya Suradinata, ⁠Prof. Mansyur Achmad, dan Dr. Deti Mulyati, yang telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Prof. Muh. Ilham, ⁠⁠Prof. Dahyar Daraba, ⁠Prof. M. Arskal Salim, ⁠Dr. Yudi Yusfiana, ⁠Dr. Ika Sartika, dan ⁠⁠Dr. Rizari, Rozikin menyimpulkan bahwa hambatan ini harus diatasi dengan komitmen yang kuat dari pemimpin daerah. 

Sidang Program Doktoral Rozikin di IPDN.

Photo :
  • Istimewa

"Kepastian hukum harus diberikan oleh pemerintah daerah, agar masyarakat dan pihak terkait bisa melihat kepemimpinan yang inklusif, terutama dalam hal pendirian rumah ibadah," ungkap Rozikin, ditulis Senin, 04 November 2024.

 

Ia juga menegaskan pentingnya memastikan bahwa kepemimpinan daerah memahami urgensi untuk memperbaiki situasi ini demi menjaga kerukunan umat beragama.

 

Kemudian, tantangan dalam Pilkada Serentak 2024, antara elektoral dan komitmen ber-Pancasila, isu pendirian rumah ibadah belum masuk ke program prioritas para calon Walikota Cilegon. 

 

Imam Rozikin menilai bahwa komitmen pemimpin daerah dalam memperjuangkan hak-hak warganya, termasuk hak beribadah, akan menjadi salah satu indikator penting dalam pemilihan kepala daerah mendatang. 

 

Di satu sisi, para kandidat tentu memiliki pertaruhan elektoral untuk meraih simpati massa, namun di sisi lain, ada pertanyaan besar mengenai komitmen mereka terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam konteks keberagaman.

 

"Pemimpin daerah harus menunjukkan komitmen untuk menghormati hak beragama dan memberikan jaminan kepastian hukum yang diperlukan untuk mendirikan rumah ibadah," tuturnya.

Gereja Sion Salah satu Gereja tertua

Photo :
  • @lengkong_sanggar

Menurutnya hal ini penting, tidak hanya sebagai wujud dari prinsip Pancasila, tetapi juga sebagai upaya menjaga kerukunan umat beragama di tengah masyarakat yang beragam atau majemuk.

 

Pilkada di Banten dengan segala kompleksitasnya, menjadi momen penting bagi warga untuk memilih pemimpin yang tidak hanya fokus pada kemenangan elektoral, tetapi juga memiliki visi untuk menciptakan lingkungan inklusif dan harmonis.

 

Kepastian hukum terkait pendirian rumah ibadah, jika diberikan dengan tepat, akan membantu mengatasi konflik potensial antar kelompok agama, serta memastikan kabupaten dan kota di Banten bergerak menuju masa depan yang lebih rukun.

 

"Dengan demikian, harapannya, pemimpin baru yang terpilih di Pilkada Cilegon mampu mengatasi permasalahan yang telah lama membayangi kota ini, termasuk dengan memberikan kepastian hukum dan keberlakukan atas SK Bupati Serang 1975 yang dianggap menghambat kebebasan beragama, serta merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua warga," jelasnya.