Kuasa Hukum PT Pelita Enamelware Industry Cikande Laporkan Oknum Pendemo ke Polda Banten
- Ahifni
Banten.viva.co.id – Kuasa hukum PT Pelita Enamelware Industry, Henny Karaenda melaporkan beberapa oknum pendemo di halaman perusahaan tersebut.
Hal tersebut dilakukan karena Henny menduga ada perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh para pendemo terhadap dirinya.
Menurut Henny, peristiwa dugaan kekerasan tersebut bermula saat adanya aksi unjuk rasa dari puluhan mantan karyawan di depan kantor PT Pelita Enamelware Industry yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang pada Jumat, 22 September 2023.
Henny menuturkan, saat kejadian demonstrasi, dirinya akan keluar dari lingkungan perusahaan dengan menggunakan mobil. Namun dirinya tidak bisa keluar karena dihalang- halangi oleh pendemo.
Dengan adanya hal tersebut, Henny keluar dari mobil untuk menegur beberapa pendemo yang menghalanginya. Namun demonsttan tersebut diduga melakukan kekerasan terhadap dirinya.
"Karena itu saya langsung visum dan melaporkannya ke Polda Banten saat hari itu juga," kata Henny kepada awak media saat ditemui di Kota Serang, Kamis 28 September 2023.
Kejadian yang sama juga menimpa Henny untuk kedua kalinya saat demonstrasi berlangsung pada Selasa, 26 September 2023.
"Untuk yang ini, saya rencananya akan kembali melaporkan 35 orang ke Polres Serang besok pagi (Jumat 29 September 2023) karena ada ancaman kekerasan ke saya," kata Henny.
PT Pelita PHK 35 Karyawan Akibat Tidak Masuk Kerja
Henny selaku kuasa Hukum PT Pelita Enamelware Industry turut menjelaskan kronologi perusahaan tersebut melakukan PHK terhadap 35 karyawannya.
Menurut Henny, pada 23 Agustus 2023, PT Pelita Enamelware Industry menerima surat permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari 35 orang karyawannya.
Atas hal itu, pihak perusahaan dan 35 pekerja bersama kuasa hukumnya melakukan pertemuan perundingan bipartit pada 5 September 2023.
Hasil perundingan tersebut memutuskan bahwa perusahaan menolak permohonan mereka dan mempersilahkan para karyawan untuk kembali bekerja sesuai jadwal.
Namun para karyawan menolak keputusan perusahaan tersebut dan memutuskan untuk tidak bekerja lagi mulai saat itu juga.
Oleh karena seluruh 35 pekerja tidak masuk kerja, bahkan setelah diberikan dua kali surat peringatan dan panggilan secara patut dan tetap tidak datang untuk bekerja, maka, sesuai UU Cipta Kerja, ke 35 pekerja tersebut terpaksa dikenakan PHK.
"Karena mangkir lebih dari 5 hari kerja berturut-berturut, akhirnya perusahaan lakukan PHK," papar Henny.
Henny menjelaskan, perundingan bipartit telah dilakukan sebanyak enam kali. Termasuk mediasi dan klarifikasi dengan Disnaker Kabupaten Serang.
"Perusahaan memenuhi undangan klarifikasi dari Disnaker Kabupaten Serang 21 September 2023, namun pihak dari mantan pekerja tidak ada yang hadir," ucapnya.
"Awalnya mereka meminta PHK suratnya masuk tanggal 23 Agustus 2023 ke kita dan disitu mereka juga meminta uang pesangon, setelah Audiensi dengan pihak PT karyawan dan juga Disnakertrans Kabupaten Serang disepakati adanya uang pisah sebesar Rp1 juta," sambungnya.
Lantaran tidak terjadinya kesepakatan, para mantan karyawan menilai uang pisah sebesar Rp1 juta dirasa kurang.
Kemudian pihak Disnaker Kabupaten Serang dan Pengawas Disnaker Provinsi Serang mendatangi Perusahaan, namun lagi-lagi pihak mantan pekerja tidak mau bertemu dan tidak melakukan klarifikasi.
Dari Pengawas Disnaker Provinsi Serang menyimpulkan bahwa yang dituntut pendemo bukanlah mengenai hak normatif, melainkan perselisihan hak sehingga menyerahkan kepada Disnaker Kabupaten Serang untuk memediasi kedua pihak.
"Disnaker Kabupaten Serang untuk mediasi namun pihak pendemo keberatan jika mediasi di Kantor Disnaker Kabupaten Serang dan meminta mediasi di Pabrik dan pihak Perusahaan menyetujui," katanya.
"Selasa aksi lagi tapi tidak ada surat pemberitahuan, akhirnya Jumat audiensi, hasilnya perusahaan menambah uang pisah Rp3 juta, jadi 4 juta mereka dapat uang pisah," lanjut Henny.
Lanjut Henny menjelaskan bahwa sampai saat ini aksi demokrasi dari mantan karyawan masih berjalan.
"Semalam saja aksi sampai jam 10 malam, setiap hari sampai puluhan orang. Yang diinginkan perusahaan kan mereka sudah di-PHK dan kita ajak bekerja kembali, tapi mereka tidak mau bekerja," ungkapnya.
Pandangan Praktisi dan Akademisi Hukum
Sementara itu, Ferry Renaldy Parkitisi Hukum dari kantor Law Firm Renaldy & Partners menilai, unjuk rasa di PT Pelita merupakan peristiwa yang biasa
"Unjuk rasa diatur dalam uu nomor 9 tahun 1998 dalam menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tulisan harus sesuai dengan aturan, kita ini negara hukum, apapun itu harus sesuai aturan hukum," kata Ferry kepada awak media.
Jika melanggar kata Ferry, hal itu ada konsekuensi secara hukum yang bisa ditempuh, misalnya pihak yang dirugikan akibat unjuk rasa yg melanggar aturan hukum, bisa mengambil langkah hukum.
"Terkait proses penyelesaian sengketa tenaga kerja, sesuai aturan ada 3 hal dalam penyelesaian: 1. Bipartit, Tripartit (Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), dan PHI. Maka menurut saya selesaikanlah permasalahan hukum dengan aturan hukum yg berlaku, bukan dengan cara-cara yang bertentangan aturan hukum," tutupnya.
Dihubungi terpisah, Akademisi Fakultas Hukum UNIS, Ahmad Fajar Herlani mengatakan, setiap warganegara mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
"Dalam hal ini seluruh pihak yang berkepentingan pada hubungan industrial dalam konteks menyampaikan pendapat dilindungi oleh negara dan konstitusi," katanya.
Menyampaikan pendapat dalam bentuk demonstrasi, lanjut Fajar, merupakan hak konstitusional warganegara yang terdapat pada UUD 1945 amandemen 4 pasal 28.
Dalam tatanan UU penyampaian pendapat dalam bentuk demonstrasi diatur pasal 1 angka 3 UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, di mana demonstrasi diartikan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, secara demonstratif dimuka umum.
Setiap peserta yang mengadakan demonstrasi mempunyai kewajiban yang diatur pada pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 yakni; menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 6 tersebut menjadi kewajiban yang harus ditaati bagi pihak yang mengadakan demonstrasi.
"Jadi dalam hal ini siapapun yang melaksanakan demonstrasi wajib tunduk pada aturan yang berlaku, jika ada pihak yang melakukan pelanggaran hukum maka pihak tersebut bisa dijatuhkan sanksi hukum yang berat," ucapnya