Stop Represi Aktivis, Kriminalisasi Jaksa Agung, dan Pimpinan KPK, Negara Sedang Tidak Baik-baik
Banten.viva.co.id –Pasca keputusan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstituis ( MKMK ), orkestrasi dari dinasti Presiden Jokowi beserta kroni-kroninya semakin menjadi-jadi.
Nalar menyamakan hati mereka atas pentingnya demokrasi Ditempatkan di atas kepentingan dinasti atau koalisi politik tertentu.
Ketua Mahkamah Konstitusi ( MK ) yang sudah diangkat vonis pemecatan sebagai ketua MK oleh MKMK malah melakukan perlawanan terhadap keputusan MKMK dengan menolak pemecatannya terhadap.
“Ketua MK ini sudah tidak menggunakan akal sehatnya, padahal sudah 40 tahun menjadi Hakim, hanya kekuatan yang sangat besarlah yang bisa mendorong Anwar Usman ini untuk melakukan perlawanan,” ujar Hanif Ketua Umum DPP NCW .
Kata Hanif, Jika melihat dari tolakan dan sindiran keras yang disampaikan oleh tokoh-tokoh bangsa, para ahli hukum, mahasiswa, masyarakat dan kelompok-kelompok pro-demokrasi terhadap carut-marut di MK demi kepentingan rezim Dinasti Jokowi.
Maka, sudah seharusnya Jokowi sebagai Presiden mulai menarik diri dan menurunkan hasratnya untuk terus berkuasa melalui dinastinya.
Perlawanan dari mahasiswa dan aktivis pergerakan terus tereskalasi dan semakin masif diberitakan di media-media sosial dan diskusi publik terkait naifnya dinasti Jokowi memaknai arti demokrasi semakin memanas dan mulai tidak tertutupi ditampilkan pada diskusi-diskusi politik di televisi.
Tolakan terhadap pelanggengan kekuasaan Dinasti Jokowi menggema hampir di seluruh pelosok negeri, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
“Negara kita ini tidak dalam kondisi baik-baik saja, kondisi ini hampir mirip dengan masa orde baru, dimana orang-orang mulai direpresi pada saat menyampaikan aspirasi,” katanya.
“Bahkan seorang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) direpresi oleh oknum TNI/Polri melalui orang tuanya. Kelakuan oknum TNI/Polri ini mengingatkan kita kembali betapa dzalimnya penguasa dimasa perjuangan reformasi,” terang Hanif.
Rakyat yang selama ini berharap kepada para politisi yang mengaku mantan aktivis reformasi 98 untuk bisa menyadarkan Jokowi atas “kekuasaan berlebihan” yang dimilikinya.
Namun para politisi ini malah terlihat jelas telah terkooptasi rezim Dinasti Jokowi dengan lantang berorasi pada diskusi publik bahwa 'dinasti politik Jokowi' suatu hal yang wajar dan biasa terjadi di negara-negara yang menganut paham demokrasi.
Pada kesempatan terpisah, Adian Napitupulu, politisi dan mantan aktivis 98 juga menyampaikan betapa buruknya sistem demokrasi Indonesia saat ini berdasarkan pemberitaan lebih dari 30 media asing yang mencermati buruknya praktik demokrasi di Indonesia saat ini.
“Seharusnya sebagai politisi dan mantan aktivis reformasi, malu kita bro (kawan-red) karena lebih dari 30 media asing memberitakan buruknya praktik demokrasi dan Indonesia sudah kembali menjadi negara monarki,” ujar Adian kepada Maman Abdurahman pada acara diskusi politik
Orkestrasi pelanggengan kekuasaan Dinasti Jokowi tidak hanya melakukan represi kepada aktivis pergerakan dan pelajar, kriminalisasi kepada aparat penegak hukum juga terus terjadi, dan ini semakin menjadi-jadi dan terkonsolidasi.
Belum selesai upaya kriminalisasi Pimpinan KPK Firli Bahauri dengan tuduhan melakukan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, beredar lagi upaya kriminalisasi Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan menyerang ranah pribadi yang bersangkutan.
Upaya kriminalisasi disinyalir karena Kejaksaan Agung berencana akan meningkatkan status tersangka dugaan korupsi oknum Menteri yang berinisial AH dan DA yang merupakan Ketua Umum dan Pengurus DPP partai Koalisi Indonesia Maju karena sudah cukup alat bukti dan Saksi.
Apa segitunya ya ketakutan penguasaan dinasti oligarki ini? Kemarin ada dugaan 'Pak Lurah' tidak memberikan ijin kepada Pimpinan KPK untuk melakukan penindakan kepada oknum menteri ini, sekarang Jaksa Agung yang dikriminalisasi!” Ujar hanif.
Oknum menteri AH diduga terlibat skandal korupsi CPO dan produk turunannya, impor handphone ilegal dengan tersangka PS Store, menerima suap kasus proyek BTS 4G melalui oknum menteri DA, dimana tersangka mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate sudah divonis 15 tahun penjara oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan.
Gebrakan hukum Jaksa Agung ini menampilkan bahwa supremasi hukum masih berjalan dengan baik, namun ternyata “kreativitas berlebihan” dalam penegakan hukum ini ternyata membuat gerah para oknum menteri-menteri kabinet Jokowi yang korup.
“Ini baru satu atau dua oknum menteri anggota dinasti yang diduga korupsi ditindaklanjuti, Jaksa Agung (JA) sudah dikriminalisasi dan dibunuh karakternya dengan tuduhan punya WIL seorang artis, hanya karena dipanggil 'pa-pa' dalam percakapan WhatsApp (WA)," ujarnya .
“JA berlangsung menerima sejumlah uang dari artis Celine Evangelista (CE) melalui Amelia Sabara (AS) dan itu sudah dibantah CE itu tidak ada, apalagi kalau dugaan korupsi yang sudah DPP NCW sampaikan beberapa waktu yang lalu diusut semuanya,” lanjut Hanif memaparkan.
DPP NCW beberapa kali menyuarakan dugaan korupsi kepada 5 (lima) menteri Kabinet Indonesia Maju Jokowi, namun tidak direspon positif oleh Mabes Polri, KPK dan Kejaksaan Agung.
NCW menduga lambatnya proses menyampaikan dugaan korupsi oknum-oknum menteri ini, karena semua menteri yang tak terduga korupsi tersebut berada di koaliasi yang sama dan sangat kuat dugaan 'pak lurah' tidak memberikan lampu hijau kepada 3(tiga) lembaga penegakan hukum tersebut.
“Kami khawatir jika praktik tebang pilih 'Pak Lurah' ini bisa menghancurkan supremasi hukum yang sudah mulai membaik dan operasi kriminalisasi ini harus segara dihentikan, karena rakyat sudah muak dengan orkestrasi dinasti di MK, sekarang ditambah lagi represi mahasiswa dan kriminalisasi penegak hukum (Pimpinan KPK) dan Jaksa Agung).
“Reformasi jilid dua bisa terjadi, jika Jokowi tidak segera bercermin diri atas apa yang terjadi saat ini, tuntutan rakyat agar Jokowi mundur pasti akan terjadi,” ujar hanif mengakhiri.